[34] Whose Porridge? [34]

5.1K 249 20
                                    

.

.

.

Dalam bayangan Satria, dia tak menginginkan hal rumit dalam hidupnya. Dia hanya ingin Clara—perempuan yang dia cintai kembali. Lalu mereka bisa melanjutkan kisah mereka lagi.

Namun Satria sadar bahwa apa yang telah dia lakukan sangat melukai hati perempuan yang dicintainya itu. Dia sadar bahwa Clara sulit memaafkannya. Mungkin Clara juga tak mau lagi bertemu dengannya.

Lalu saat akhirnya Satria bisa melihat perempuan itu kembali. Dia tak bisa mengabaikan sorot benci yang ditujukan untuknya. Juga luka yang tersirat dari wajah cantik Clara.

Dalam sekejap sesal kembali membayangi diri Satria. Membuat hatinya seolah tercabik duri. Bahwa kenyataan tak sejatinya selalu seperti yang diingini. Satria bisa apa setelah Clara kini membenci.

Setelah meninggalkan rumah Clara, Satria tak bisa berhenti berfikir. Dia terus bertanya-tanya. Mengapa? Mengapa Clara terus mengusirnya pergi? Setidaknya dia ingin mereka berbicara baik-baik dahulu.

Jika Clara sulit menerimanya, Satria pasti mengerti. Dia hanya tinggal mencari cara agar Clara beralih memaafkannya. Lalu apa yang dulu tertinggal. Bisa mereka mulai kembali.

Namun rasanya tak akan semudah itu.

Dan Rara... Gadis kecil itu memanggil Clara dengan sebutan mama, membuat sebuah pemikiran memasuki kepalanya.

Sebuah alasan yang selama ini tak pernah dia pikirkan sama sekali.

Mungkinkah Rara adalah—anaknya.

Satria memejamkan mata saat semua kebuntuan menghantam kepalanya. Maka malam itu dia menghabiskan waktu seorang diri. Berada di pojok club malam. Menikmati hingar bingar di sekelilingnya yang tak membawa pengaruh apapun padanya.

Sebelum alkohol itu merenggut kewarasannya, Satria menyingkir dari sana. Mengendarai mobil sampai ke aparetemen. Dia tidak melakukan apapun selain menangis dalam sesal. Menyesali apa yang telah dilakukannya. Menyesali segala hal tentang mereka.

Satria mengerang saat kedua matanya perlahan-lahan terbuka. Pupilnya bergerak pelan mengamati segala sesuatu di ruangan. Ah, dia berada di kamarnya dalam apartemen.

Satria berusaha bangkit saat sesuatu jatuh dari atas kepalanya. Dia mengernyit mendapati handuk olahraganya yang berwarna biru jatuh dari dahinya. Lalu tatapannya tertuju pada mangkok di atas nakas. Mangkok berisi air dingin juga handuk kecil dari dahi. Siapa yang sudah mengompresnya semalam?

Darga? Seingat Satria saat meminum obat semalam, Darga berkata akan menginap menemaninya. Tapi setelahnya dia tak tahu apapun karena jatuh tertidur lantaran pengaruh obat.

Kepalanya masih sedikit pening saat Satria bangkit berdiri. Meski begitu dia tetap memaksakan kakinya melangkah. Sembari meraih mangkok di atas nakas dia keluar dari kamar.

Keadaan ruang tengah apartemennya masih sama seperti yang terakhir Satria lihat. Menahan pening di kepala. Dia berjalan tertatih menuju kursi. Merasakan tenggorakannya begitu kering. Satria mau tak mau bangkit lagi dan memgambil gelas.

Satria mengernyit saat mendapati sebuah mangkok tertutup rapat di dekat kompor. Mangkok apa itu? Satria tidak ingat memasak tadi malam. Dia hanya makan makanan yang dibelikan Arroyan dan Marlo.

Apa mungkin Darga yang tengah malam membuat mie instan? Siapa tahu. Satria meraih mangkok tersebut dan membukanya. Dia sedikit kaget saat mendapati mangkok itu berisi bubur. Siapa yang memasak bubur ini—atau siapa yang membelinya?

Darga?

Tak peduli siapa yang membelinya, Satria memanaskan bubur itu ke dalam microwave. Setelahnya dia kembali duduk di kursi.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang