[3] Human Feelings [3]

12.3K 713 20
                                    

.

.

.

"Gue tahu, lo tadi sempet blank. Makanya lo kalah start, kan?"

Darga tiba-tiba berucap membuat Satria menoleh tipis ke arahnya. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis seolah mengiyakan ucapan sepupunya.

"Lo keinget kejadian itu lagi?"

Satria menghela nafas berat. Tatapannya terfokus pada jalanan yang lengang pada dini hari ini. Dia mencoba mengangguk meski tidak terlalu kentara.

"Gue tadi ngebayangin pas Clara teriak-teriak ngedukung waktu kita tanding basket." Satria menoleh sekilas. "Lo inget, kan?"

Darga tampak berpikir lalu mengangguk singkat. "Jadi lo bayangin cewek-cewek kurang bahan di arena tadi sebagai Clara?"

Satria langsung mendelik. "Ya nggaklah! Gila lo! Clara nggak kayak gitu ya!"

Darga tertawa pelan. "Canda kali. Segitunya kalo menyangkut Clara."

Satria hanya diam. Tatapannya menajam menatap jalanan hingga tanpa sadar dia memacu mobil terlampau kencang. Tidak ada suara protes yang keluar dari Darga. Karena dia sudah terbiasa menghadapi kegalaun Satria sejak enam tahun lalu. Lalu yang dia lakukan malah meraih amplop coklat yang terletak asal di atas dashboard.

"Gue ambil berapa nih?" tanya Darga.
"Serah lo." Satria menjawab singkat. Membuat Darga mengambil nominal sesuai yang dijanjikan Satria tadi.

"Ngomong-ngomong lo udah berhenti nyari Clara?" Darga kembali membahas topik yang sensitif bagi sepupunya itu.

Satria hanya diam. Dia diam bukan berarti tak ingin menjawab. Namun kepala dan hatinya sedang menyinkronkan jawaban apa yang ingin dia utarakan. Bodoh, jika Satria tidak mencarinya. Nyatanya sejak kejadian itu Claranya menghilang. Nomor ponselnya tak bisa Satria hubungi. Mendatangi rumahnya pun tak ada hasil yang dia dapat. Clara benar-benar menghilag. Seolah seluruh isi bumi bersatu untuk menyembunyikan Clara dari Satria.

Tak kehilangan akal. Satria terus mencari Clara. Dia bahkan mengubek-ubek seluruh web universitas-uniersitas favorit untuk mencari apakah nama Clara masuk menjadi mahasiswa baru di kampus tersebut atau tidak. Dan hasilnya nol. Satria tidak pernah menemukan nama Clara disana.

Padahal Satria tahu sekali bahwa pacarnya itu—ah, tunggu apakah Clara masih pantas dia sebut pacar? Ah, Satria tidak peduli. Pacarnya itu sangat ingin masuk universitas favorit negeri ini dan mengambil jurusan arsitektur seperti yang selalu digembar-gemborkan dulu.

Ataukah mungkin Clara melanjutkan studi ke luar negeri hingga Satria kehilangan jejaknya. Jika benar begitu, berarti Clara benar-benar ingin melupakannya, bukan? Satria memejamkan matanya, rasanya begitu pedih jika membayangkan hal itu terjadi sementara dirinya disini masih memenjara sosok Clara dalam hati.

"Gue buntu, Dar! Gue buntu! Nggak ada satu petunjuk pun yang gue dapet!" Suara Satria tanpa sadar meninggi. "Setelah kejadian itu gue udah hubungi anak-anak yang deket sama Clara. Dan mereka juga nggak tahu Clara ada dimana! Clara juga nggak angkat telpon mereka sama sekali!"

"Dan itu semua gara-gara gue! Lo tahu! Clara hilang gara-gara gue! Kalo aja waktu itu gue nggak ajak dia masuk hotel! Kalo aja waktu itu gue langsung anter dia pulang! Pasti semuanya nggak akan kayak gini! Pasti sekarang gue sama Clara masih barengan! Mungkin sekarang kita lagi merangkai masa depan! Atau mungkin nyokap gue dan nyokapnya Clara lagi sibuk berdebat bahas konsep pernikahan atau mungkin—"

"Cukup!" Darga memotong cepat. "Kata mungkin nggak akan jadi nyata meski lo omongin ratusan kali!"

Satria yang sejak tadi terus berteriak memalingkan wajahnya. Rautnya menajam seketika. Matanya menyalang dan buku tangannya mencengkeram erat kemudi mobil. Dia hembuskan nafas yang terasa sesak. Memejamkan mata perlahan lalu kembali mengendalikan perasaan yang siap meledak. Untuk dirinya sendiri.

"Clara, aku minta maaf..." lirihnya penuh sesal.

Darga yang mendengar rintih sesal Satria hanya melirik sekilas. Laki-laki itu merebahkan kepalanya di jok mobil. Matanya mengawang pada satu titik.

Darga ingat sekali hari itu, saat Satria tiba-tiba muncul di kamarnya. Menganggu tidur nyenyaknya. Lalu seperti orang gila, sepupunya itu menceritakan apa yang baru saja dia lakukan bersama pacarnya. Yang membuat Darga langsung diam seribu bahasa dengan rupa yang tak bisa diterka.

"Well, gue masih nggak percaya lo dan Clara udah sampai ke tahap itu—" Darga tersenyum dengan raut mengejek.

Satria hanya diam. Tak berniat meladeni ejekan sepupunya. Karena nyatanya Satria memilih Darga sebagai satu-satunya orang yang dia percaya mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya. Karena memang laki-laki itu pintar menjaga rahasia.

"Gue cinta sama Clara." ujar Satria dengan nada polos.

Darga menoleh, "lo cinta sama Clara. Tapi lo gadaikan kewarasan lo waktu itu. Ck, bucin!"

Satria kembali diam. Sudah kebal dengan seluruh ejekan Darga. Satria tak akan menyangkal ketololannya di masa lalu. Mungkin benar kata Darga, kewarasannya waktu itu sudah tergadaikan oleh hawa nafsu sesaat. Hawa nafsu yang menuntunnya memasuki kubang penyesalan tiada akhir.

"Sat, kita ngapain kesini?" Clara menarik tangannya dari genggaman tangan Satria. Dia menatap hotel dengan heran.

"Sebentar aja, Ra. Aku capek. Kita istirahat bentar, ya." jawab Satria seraya tersenyum lembut.

Clara ikut tersenyum pada Satria. "Oke. Tapi bentar aja, ya."

Bodoh! Satria merutuk dalam hati. Seumur hidupnya dia tak akan bisa melupakan hari itu. Hari dimana dia menggenggam tangan Clara menyusuri lorong hotel. Hari dimana dia melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya dia lakukan. Hari dimana dia merenggut sesuatu yang berharga dari gadis itu. Hari dimana untuk pertama kalinya Clara menangis di hadapan Satria. Hari dimana kewarasannya direnggut oleh setan yang disebut hawa nafsu.

"Pernah nggak sih lo berfikir—" Darga tiba-tiba berucap membuat Satria menoleh sekilas. "Kalau Clara sekarang udah berubah?"

Satria seketika meruncingkan tatapannya saat sepupunya itu menyebut nama Clara. Seakan nama itu adalah mantra yang tak bisa disebut oleh sembarangan orang.

Darga segera berdeham mendapati hawa suram dari sepupunya itu. "M—maksud gue, ini udah enam tahun gitu loh. Gimana kalo Clara udah berubah. Maybe dia udah punya cowok baru dan lupa sama lo. Sementara lo disini masih bucin ke dia."

Darga mengatakannya dengan hati-hati. Dia meneliti raut Satria yang tak berubah. Masih menatap jalanan. Namun Darga tahu fikirannya sama sekali tidak tertuju pada jalanan.

"Kalo itu terjadi apa yang akan lo lakuin?"

"Gue nggak tahu," jawab Satria jujur. Dia benar-benar tidak tahu. Nyatanya selama enam tahun ini dia seperti memerintah hati dan perasaannya untuk tidak tertarik pada sosok perempuan lain. Karena kepala dan hatinya tetap menyerukan satu nama. Yaitu, Clara.

Namun apabila yang dikatakan Darga benar terjadi. Mungkin Satria harus pasrah pada kenyataan. Karena terkadang kenyataan jauh lebih pahit dari obat penawar rasa sakit.

"Gue nggak tahu. Gue nggak tahu sebelum gue bisa menemukan dia lagi."

Darga hanya mengangkat bahu acuh. Lalu dia membuang muka ke luar jendela. "Enam tahun tuh lama lho. Hidup seseorang aja bisa berubah dalam hitungan bulan. Apalagi perasaan manusia yang gampang dibolak-balik kayak tempe di wajan."

.

.

.

tbc

Give me some vote and comment for this chapter.... Thank you...

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang