[30] This Is Cuanki [30]

5.1K 205 6
                                    

.

.

.

Arrain tidak ada kerjaan malam ini. Dia bosan akut karena sepanjang sore hanya dihabiskan bergoleran di atas ranjang hotel. Dia menatap langit-langit dengan malas. Lalu menidurkan kepalanya di atas bantal. Arrain benar-benar bosan. Sangat bosan. Menatap kamar hotel yang dia tempati, tetap saja tak ada yang membuatnya tertarik.

Ngomong-ngomong, sejak dua hari lalu Arrain memang sedang berada di hotel daerah Bandung. Ya, dia sedang mengikuti seminar kesehatan yang diadakan IDI. Acaranya pun sudah berakhir tadi pukul lima sore, membuat dia gabut tak tahu harus melakukan apa setelah masuk ke dalam kamar.

Arrain masih amat kesal saat dua hari yang lalu bagian humas rumah sakit menunjuknya untuk mengikuti seminar ini seorang diri. Harusnya ada satu rekan yang menemaninya yaitu Dokter Revan dari poli syaraf. Tapi rekannya itu batal hadir dikarenakan masalah kesehatan. Jadilah Arrain hanya seorang diri disini.

Masih dengan posisi goleran tidak jelas, Arrain meraih ponselnya. Mengusap layarnya malas. Dia memanyunkan bibir saat sosok yang sejak tadi dipikirkannya sama sekali tak menghubungi.

Ugh! Satria lo kemana sih? Dari tadi gue telponin nggak bisa melulu. Chat juga centang satu! Lo kemana sih hah?

Arrain mendumel dalam hati lalu menghempaskan ponselnya menjauh. Menegakkan posisi badannya supaya duduk dan memeluk bantal. Perempuan itu masih tidak habis fikir kenapa Satria sulit dihubungi. Apa dia memang sedang sangat sibuk? Padahal Arrain hanya ingin mengabarkan bahwa dia sedang berada di Bandung. Siapa tahu laki-laki itu mau menitip sesuatu atau apa.

Mengecek ponselnya sekali lagi, Arrain berdecak saat hanya menemukan chat dari rekan-rekannya—yang menurutnya itu tidak penting. Berfikir sejenak, Arrain memutuskan bangkit untuk menghirup udara di luar. Jalan-jalan sebentar sepertinya menarik. Daripada dia mati kebosanan dia kamar hotel.

Setelah mengganti pakaiannya dengan kemeja longgar dan jeans pendek, Arrain merapikan sedikit rambutnya. Setelah mengantongi ponsel dan dompetnya dia bergegas keluar.

Saat Arrain menutup pintu, suara ceklekan pintu juga terdengar dari arah depan membuat Arrain mendongak. Dia terperangah menatap sosok jangkung yang baru saja keluar dari kamar di depannya.

Arrain dan laki-laki itu berpandangan sejenak lalu saling tersenyum. Astaga, dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan dokter itu—Dokter Erlando Langit, kalau tidak salah namanya.

"Dokter Arrain—"

"Dokter Lando—"

Keduanya saling tertawa saat menyapa nyaris bersamaan. Maju beberapa langkah dari ambang pintu masing-masing. Keduanya masih saling tertawa dan tersenyum.

Arrain ingat sekali karena perjalanannya dari Jakarta ke Bandung molor beberapa menit, dia jadi sedikit telat mengikuti pembukaan seminar. Terburu-buru masuk ke dalam hall, tempat duduk Arrain ternyata bersebelahan dengan Lando.

Dan satu hal memalukan yang dialami Arrain. Dia menguap kencang dan Lando memergokinya. Awalnya Arrain malu tapi setelah itu dia malah mengobrol akrab dengan Dokter Lando.

Lalu sebuah kejutan lagi, ternyata kamar hotel mereka saling berhadapan.

"Kamar Dokter Arrain di lantai ini juga?"

Lando sangat terkejut saat dia hendak keluar dari kamar. Bertambah terkejut saat melihat Arrain disana. Kebetulan sekali ternyata Arrain malah keluar dari kamar di depannya.

Arrain mengangguk pelan. "Iya, kamar Dokter Lando disitu?" tunjuknya pada pintu di belakang Lando.

Lando tertawa lalu mengangguk antusias. "Ngomong-ngomong, Dokter Arrain mau keluar?"

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang