• 18 : Aku Hanyalah Figuran

158 26 0
                                    

"Begitu, ya. Pantas saja desa itu membenciku," ujar Temian. "Karena mereka bisa merasakan kalau aku memiliki bakat kekuatan suci, aku jadi diusir."

Aku mengangguk. "Cerita ini hanya kuceritakan pada kalian. Rahasiakan, bahkan dari Loton dan Yohan sekali pun. Aku akan mengarang cerita lain untuk mereka."

"Kami mengerti," ujar Aresy. Ia lalu melirik Anne yang duduk di sampingku, sibuk menyantap makanan. "Lalu bagaimana dengannya?"

"Aku mungkin akan meletakkannya di panti asuhan," jawabku. "Tentu saja, panti asuhan yang berada di bawah pengawasan keluargaku langsung."

"Ahh, aku mengerti."

Saat ini, kami sedang menyantap makanan di penginapan, sementara Loton dan Yohan masih pergi mencariku. Aku ingin melihat reaksi mereka saat tiba-tiba sudah menemukanku di sini.

Energiku tak sepenuhnya terisi, namun ini sudah lebih dari cukup. Aku makan hingga tujuh piring dan memesan berbagai macam minuman.

"Aku masih penasaran tentang 'Tuan'," celutuk Temian. "Sejujurnya, saat tadi kami mencarimu, seseorang berjubah hitam meminta kami diam di hutan suci, mengatakan kalau kau ada di sana. Setelah itu, dia pergi tanpa mengatakan apa pun lagi."

"Ah, iya," sahut Aresy. "Apa 'Tuan' dan orang itu satu orang yang sama?"

"Mungkin," celutuk Anne tiba-tiba. "Tuan memang suka memakai jubah berwarna gelap yang besar hingga menutupi wajahnya. Tetapi, dia bukan orang yang jahat."

"Orang baik macam apa yang menanamkan sihir hitam pada orang lain?" tanya Temian meremehkan.

"Tuan punya alasannya sendiri," jawab Anne terlihat kesal. "Kalau memang Tuan orang yang jahat, dia pasti sudah membunuh kakak-kakak sekalian."

Yah .... Itu benar. Orang yang jahat atau tidak, dia sudah membiarkanku hidup. Aku tak terlalu merasa berterima kasih, namun aku juga tak bisa mengabaikannya.

"Nona, untuk sekarang Nona istirahat saja," ujar Asery.

"Ya!" seru Temian. "Biar kami yang menunggu Loton dan Yohan."

~•~

Hari ini pun, dia sendirian di rumah. Rambutnya pendek, berwarna hitam seleher dan poni rata mencapai alisnya. Tubuh gadis itu tidak kurus, namun juga tidak layak disebut tubuh seorang anak-anak.

Ia menekuk tangannya di ambang jendela, memandang keluar dengan raut sedih. Tak ada orang lain di rumah, hanya dia seorang diri.

Aku tak bisa mengatakan apa pun saat melihatnya sedikit ketakutan begitu mendengar suara aneh dari dapur.

Begitu berbalik ke belakang, aku menemukan gadis itu sudah tumbuh remaja. Ia duduk di sofa dengan seorang gadis kecil di sampingnya. Raut wajah gadis itu terlihat kesal.

"Kakak! Ambilin itu!" seru sang adik tiba-tiba, mata dan tangannya masih fokus pada balok yang tersusun tinggi di atas meja.

Dengan malas, gadis itu mengulurkan tangan pada sebuah balok berwarna biru dan menggesernya ke hadapan sang adik. Tetapi, perempuan yang lebih kecil darinya itu malah membanting balok itu sambil membentak.

"Bukan itu!"

"Yang mana!?" balasnya ikut meninggikan suara, tak bisa lagi menahan emosi.

Takut karena dibentak, sang adik pun menangis begitu keras. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi, memukul-mukul sang kakak.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang