95: Mari Kita Tutup Kisah Panjang Ini

107 16 1
                                    

Mayo mengerjap-ngerjap, menemukan atap hitam memenuhi pengelihatannya. Ia menipiskan bibir, teringat terakhir kali dirinya pingsan di taman bunga itu. Sambil mengembuskan napas, Mayo berusaha untuk duduk.

"Sebaiknya kau tak banyak bergerak."

Tak perlu menoleh, Mayo bisa tahu siapa yang mengatakan itu. Namun, ia tetap memaksa dirinya sendiri untuk duduk. "Aku masih baik-baik saja," katanya lalu menengadahkan kepala, menemukan Ace berdiri di dekat jendela. "Ini di mana?"

"Di rumahku. Kau bilang ingin kemari, kan?"

Mayo menautkan alisnya. "Aku tak terlalu mengingatnya. Tapi, kurasa aku memang mengatakan hal seperti itu ...."

"Kau melupakannya lagi," balas Ace tersenyum geli.

Sambil tertawa kecil, Mayo memandang pita merah yang terikat di pergelangan tangannya. Sesaat matanya memanas sebelum akhirnya Mayo memutuskan untuk menggerakkan kedua kakinya perlahan sebelum akhirnya berdiri. "Sebelum mati, aku ingin pergi mengunjungi Aresy dan Yohan. Apa kau bisa mengantarku?"

"Iya, aku menguburkan mereka di dekat sini," ujar Ace sembari berjalan menuju pintu.

Mayo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia langsung mengerjap pelan begitu pintu kamar dibuka oleh Ace. Pemandangan tangga yang begitu panjang ke bawah tanpa ada ruangan lagi di sisi lain membuatnya terkejut. "Rumah ini ... seperti kastil-kastil para penyihir jahat, ya."

"Kau bisa menganggapnya begitu," jawab Ace. "Aku bisa menggendongmu kalau kau kesulitan."

"Tidak, tidak." Mayo mengembuskan napas lelah. "Aku baik-baik saja." Meski aku tak yakin waktu kembali nanti. Yah, kurasa mati di dekat kuburan Aresy dan Yohan juga tak buruk.

Suara langkah kaki mereka menggema di bangunan tersebut. Sebuah bangunan tinggi tanpa jendela, ratusan tangga yang melingkar, serta dinding batu yang gelap, benar-benar pencerminan kastil seorang penjahat di dalam cerita pahlawan. Mayo berjalan beberapa anak tangga di belakang Ace, ia agak menunduk sambil tangan kirinya menyentuh dinding.

Sebentar lagi, mereka akan saling membunuh satu sama lain. Peraturan dalam cerita adalah mutlak. Meski bukan Celestia yang menentukan akhir kematian Mayo. Gadis itu memilih sendiri, bagaimana akhir ceritanya.

Rute Ace, membunuh Mayo dengan sihir hitam.

Pada akhirnya, kejahatan harus dikalahkan. Dan dalam cerita seperti ini, antagonis haruslah menemui kematiannya.

"Kupikir aku akan mati di taman bunga," celutuk Mayo sambil mengukir senyum tipis. "Apa kau mengawasiku menggunakan panda itu?"

"Ya," jawab Ace tanpa menoleh. "Apa kau tidak menyukainya?"

"Tidak. Aku tak keberatan, kok." Mayo mengangkat kepalanya, menatap Ace dari belakang. Meski yang bisa ia lihat sekarang hanyalah jubah hitam, seperti biasanya. "Bagaimana Celestia dan Chaiden sekarang?"

"Mereka bahkan belum sampai ke sana. Kau tak perlu mengkhawatirkan mereka."

"Yah .... Karena kau tidak ikut, aku jadi sedikit penasaran," ujar Mayo. "Tapi, Tuan, apa benar tak masalah bagimu tidak ikut ke sana? Apa kau tak memiliki insting yang memintamu untuk pergi dan melindungi Celestia?"

Sejujurnya, insting itu ada. Karena itu, sejak tadi, Ace berdiri di dekat jendela. Hanya saja, Ace berusaha keras menahan dirinya untuk tidak berteleportasi ke sana. Ia tak ingin meninggalkan Mayo dan membiarkan gadis itu bangun dalam kesendirian. Perasaan Ace pada Celestia tak lebih dari sekadar perasaan yang dibuat dalam cerita.

Namun, berbeda dengan gadis kecil yang berjalan di belakangnya sekarang. Ace ingin melindunginya. Ia ingin menjaganya baik-baik.

"Tidak. Aku senang tidak perlu pergi ke sana," jawab Ace. "Berhenti mengkhawatirkan hal-hal yang aneh."

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang