• 53 : Tengah Malam

63 14 0
                                    

Memakai jubah hitam, aku melangkah masuk ke dalam gang menuju 'area gelap'. Beberapa langkah di depanku, Tuan berjalan juga dengan jubah hitam yang sama. Bulan purnama sedang mengeluarkan cahaya begitu terang di atas sana.

Begitu tiba di mulut gang, aku melihat perkotaan 'area gelap'. Di mana rumah-rumah kumuh yang dibangun dengan sangat tidak rapi, bahkan beberapa tanpa pintu, stan-stan makanan yang reyot, serta ember yang berisi banyak tumpukan sampah.

Ini pertama kalinya aku masuk dalam kota 'area gelap'.

Mereka bilang, di tempat ini orang-orang bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan, membunuh, menculik, berdagang ilegal, atau apa pun. Di tempat ini, penjaga tak akan bertindak. Sementara para ksatria tak akan repot-repot datang ke sini jika tidak memiliki kepentingan.

'Area gelap' adalah bentuk ketidakadilan yang sangat jelas di dunia ini.

"Kau yakin akan meninggalkan mereka?" tanya Tuan.

"Hm? Siapa?" balasku bertanya. Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba Tuan sudah berada di sampingku—dengan jarak tentunya.

"Pelayan-pelayanmu."

Aku tertawa kecil. "Jangan menyebut mereka sebagai pelayanku. Meski mereka melayaniku, aku tak suka menganggap mereka sebagai pelayan."

"Lalu?"

"Aku lebih suka menyebut mereka sebagai anak ayam."

Tawa kecil terdengar dari arah Tuan. "Bukannya itu lebih buruk?"

Aku memiringkan kepala. "Begitukah? Sebenarnya, aku tak banyak memikirkannya. Mereka semua anak-anak yang manis dan menggemaskan, jadi aku menganggap mereka sebagai anak ayam yang harus dilindungi .... Meski aku tak bisa melindungi siapa pun."

Aku seorang induk ayam yang jahat, ya.

"Menyebut mereka anak-anak, apa kau tidak bercermin?"

Ah, Tuan mengalihkan topik.

"Hei, hei, meski tubuhku kecil begini, aku bukan anak-anak," balasku sambil tertawa. "Kau terlalu meremehkanku, Tuan."

"Aku melihat apa yang terlihat."

Lagi-lagi, aku tertawa mendengarnya. Di udara yang dingin ini, tertawa bisa memberikan kehangatan. Tuan bilang, ia bisa memberikan mantra penghangat. Tetapi, itu akan membuatnya mengeluarkan sihir hitam yang buruk untuk diriku.

Aku nenarik napas panjang, menetralkan diriku sendiri, lalu kembali bertanya. "Kau sendiri? Berapa umurmu, Tuan?"

"Dua puluh."

Eh?

Aku terperangah. "Kau menjawabnya?"

"Kenapa kau malah terkejut?"

"Biasanya, kan, Tuan tak pernah menjawab pertanyaan personal," jawabku. Jadi, aku dan Tuan berjarak lima tahun, ya. Kupikir Tuan baru berumur tujuh belas atau delapan belas begitu. "Lalu, siapa nama Tuan yang sebenarnya? Apa kau mau memberitahunya juga?"

"Ya, tapi nanti."

Cih.

Aku mengembuskan napas pelan dan ikut berhenti berjalan saat Tuan berdiri di depan sebuah rumah. "Di situ?"

"Iya."

"Dia sendirian, kan?"

"Iya."

"Baiklah."

Aku mendekati rumah yang terlihat bisa roboh kapan saja itu, lalu membuka pintu kayu reyotnya. Sebuah meja dan ranjang dengan seorang pria tidur di atasnya. Pria berkumis itu tampak tidur begitu nyenyak.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang