• 21 : Berangkat

125 21 0
                                    

Aku mengembuskan napas panjang, menatap pada Milly yang berkaca-kaca. "Aku tak tahu akan lama atau tidak, tapi aku pasti akan mengirim surat."

"Sungguh?" tanya Milly. "Belakangan ini, aku hampir tak pernah bermain dengan Kakak ...."

Yah, itu karena aku menghindar. Malas sekali harus bermain dengan anak-anak. "Maaf, maaf," balasku. "Aku akan pulang di saat mereka mengijinkanku."

Bagaimana aku bisa meminta ijin pada orang tuaku? Aku jujur, tapi tak mengatakan sepenuhnya. Aku hanya mengatakan kalau pihak penyihir kerajaan memanggilku untuk bertanya tentang Hutan Sanctus, juga mengecek kekuatan suciku lagi setelah habis dari sana. Beruntung orang tuaku tak terlalu peduli, jadi hanya dengan alasan itu, mereka memberiku ijin.

"Aresy," panggil Mama pada Aresy yang berdiri di belakangku. "Kuharap, kemampuan berpedangmu belum hilang."

"Tentu saja, Nyonya."

Setelah itu, aku tersenyum pada Mama dan Papa. "Aku pergi dulu," kataku, lalu masuk ke dalam kereta kuda.

Mereka memang orang tuaku, tapi ... rasanya aku tak perlu bertingkah seperti dulu—seperti aku dan orang tuaku di kehidupan sebelumnya.

Kereta kuda pun melaju. Aku mengembuskan napas, lalu bersandar pada kursi. Lebih sedikit dari sebelumnya, aku hanya membawa Aresy dan Yohan saja. Mereka benar-benar telah menjadi kesayanganku. Anak-anak itu bisa memperlakukan dengan baik, jadi aku menyukainya. Ah, Loton sempat menawarkan dirinya lagi, namun aku tak perlu pengawal hanya untuk pergi menemui penyihir.

Ibu kota ya .... Aku tidak terlalu sering pergi ke sana, jadi tak yakin dengan keadaannya. Hanya saja, aku mendengar kalau insiden sihir hitam muncul cukup sering di sana. 'Tuan' pasti orang yang nekat. Istana Virtus ada di sana, Duke pemimpin ksatria pun tinggal di ibu kota, begitu juga dengan pangkalan utama para ksatria dan menara sihir. Masalah besar sebelumnya, tentang sekolah Virtus, dia pasti orang yang sangat kuat sampai bisa melewati para penjaga, pengawal, dan guru, lalu menyebarkan sihir hitam di sana.

'Tuan' sangat berusaha keras menyebarkan sihir hitam, ya ....

"Nona!"

Aku terkejut saat tiba-tiba Aresy menarik tanganku dan keluar dari kereta kuda. Aku memejamkan mata kuat-kuat saat melihat tanah yang semakin dekat.

BRAK!

Bruk .... Bruk ....

CRASH!

"GRAAAAW!"

Erangan yang begitu keras membuatku langsung kembali membuka mataku. Mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuh akibat terguling-guling di tanah, aku terbelalak melihat seekor binatang berbulu hitam menyerupai serigala dengan ukuran empat kali lipat lebih besar, menghancurkan kereta kuda.

"Monster?" tanyaku terkejut.

"Ya," balas Aresy melepaskan pelukannya. "Apa Nona baik-baik saja?"

"Ah, iya, berkat kau," ujarku sambil bangkit berdiri. Lalu aku menoleh cepat pada Yohan yang juga telah melompat jauh. Punggungnya terluka panjang dengan darah mengalir cukup deras. Aku yakin dia terkena cakar dari monster serigala tersebut. "Apa kau bisa berdiri?" tanyaku menghampirinya.

"Iya ...." jawab Yohan. Ia mengernyitkan matanya, berusaha untuk berdiri. "Maaf, ini karena saya sama sekali tak mendengar ada monster di perbatasan kota ...."

"Memang tidak ada," ujar Aresy. Dari balik jubah hijaunya, ia menarik dua bilah belati berukuran sedang. Aku ingat ia meletakkan benda tajam itu di kedua pinggangnya.

Kota kecil ini tak memiliki sesuatu yang menarik. Jarang ada insiden orang gila, begitu juga dengan monster yang berkeliaran. Diserang tiba-tiba tanpa peringatan begini, membuatku sangat terkejut. Ayolah, kita bahkan baru keluar dari area kota dan memasuki hutan perbatasan! Belum apa-apa, tapi sudah diserang!

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang