• 57 : Catatan Celestia

60 12 2
                                    

"Baiklah, sekarang aku akan pulang," kataku meregangkan tangan ke atas. Aku terdiam sejenak, menatap Gail yang sudah akan pergi. "Um ... Gail."

Laki-laki berambut oranye itu menoleh. "Ha?"

"Terima kasih," kataku. "Tempat makan ini enak."

Tuan mengatakannya padaku, bahwa Gail yang memilihkan kedai ini untukku. Meski aku makan sendirian karena harus menjaga jarak, aku tetap bisa menikmati makanannya dengan tenang. Jadi, aku berterima kasih.

"Ya, ya," katanya sambil tersenyum miring. Ia lalu menyentuh seseorang di sampingnya, kemudian menghilang lebih dulu.

"Apa dia baru saja menanamkan sihir hitam?" tanyaku.

"Iya," jawab Tuan, kembali berjalan menuju gang buntu. "Butuh waktu hingga sihir hitam itu aktif."

"Hmm ...." Ternyata, semudah itu memberikannya pada manusia. Sepertinya aku juga akan bisa memberikannya seperti itu.

Ohohoho!

Aku akan menjadi sangat keren nantinya!

"Apa kau mau pergi ke rumahmu sekarang?" tanya Tuan tiba-tiba.

"Tadinya aku ingin ke sana. Tapi pasti akan aneh jika aku tiba-tiba sudah membawa semua pakaianku lagi. Uangku juga ... sudah lama aku tidak menyentuhnya." Sebaiknya, aku tidak pergi ke sana. "Jadi, tidak. Aku akan pergi ke menggeledah kamar Celestia."

"Kenapa?"

"Entahlah. Ini hanya insting antagonis."

Tuan mendengus geli. "Baiklah."

.

.

.

Setelah Tuan mengembalikan wujudku lagi dan menghilang, aku segera keluar dari kamar. Baru saja membuka pintu, aku sudah dibuat terkejut dengan Celestia yang berdiri di depan. Wajahnya terlihat sangat serius, menatapku begitu lama.

"Apa?" tanyaku heran.

"Apa tadi ada orang yang berada di dalam kamarmu?" katanya balas bertanya.

Ah. Dia pasti merasakan sihir hitam Tuan.

Aku memiringkan kepala. "Apa maksudmu? Aku sendirian dari tadi. Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini, Celestia?"

Dari sorot mata Celestia, aku tahu dia tidak percaya padaku. Tetapi, ia memaksakan senyum. "Aku ingin mengajakmu bermain," katanya.

"Bermain?"

"Iya. Di luar. Tolong temani aku berjalan-jalan. Verren tak bisa pergi keluar jadi—"

"Oy, Celestia!"

Aku tidak terkejut lagi saat melihat seorang laki-laki dengan rambut emas dan putih berlari mendekat. Pandangannya yang tadi tertuju pada Celestia, langsung berpindah padaku saat ia sudah tiba di antara kami.

Cih.

Tentu saja, Celestia pasti juga dekat dengan para pangeran.

"Salam hormat dan sejahtera. Kiranya berkah kesehatan dan cahaya selalu menyinari Anda, Yang Terhormat Paduka Pangeran Ernest," kataku sambil memberikan hormat.

"Kau ...." Sesaat ucapannya menggantung, sebelum akhirnya sebuah kesedihan terpancar dari wajah itu. "Aku turut sedih dengan kejadian yang menimpamu."

"Terima kasih atas perhatiannya, Paduka," balasku.

Membuat ekspresi sedih dan mengatakan 'aku turut sedih' adalah hal yang mudah. Tetapi, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain adalah hal yang sulit. Jika tidak pernah mengalaminya sendiri, biasanya tak akan bisa mengerti rasanya.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang