• 40 : Pertanda

61 13 0
                                    

"Selamat pagi, Nona Mayo."

Aku tersenyum menyapa Aresy, sambil turun dari kasur. "Pagi," balasku.

"Apa hari ini Anda masih merasa tidak enak?" tanyanya, membuka tirai-tirai jendela kamarku. Langit berawan menampakkan diri dan setia untuk menyembunyikan matahari. Terlihat sedikit warna putih yang memenuhi pohon.

Belakangan ini, aku memang tidur lebih lama, karena kondisi tubuhku sangat tidak baik. Bukan karena demam, melainkan sihir hitam yang terus menerus kuserap. Meski aku sudah pindah ke sini, bukan berarti aku bisa bersantai dan hanya bertugas untuk menumbuhkan daun di Hutan Sanctus. Banyak orang gila yang selalu siap menghancurkan ketenanganku.

Malah terkadang aku harus dibawa kembali ke menara sihir untuk meningkatkan kekuatan suci para penyihir di sana. Beberapa ksatria juga datang ke sini untuk ditingkatkan kekuatan sucinya. Kalau memang begitu, kenapa aku harus dipindahkan ke sini, sih? Itu, kan, merepotkan. Terkadang aku juga harus menghentikan sendiri orang gila yang muncul di kota ini, lantaran penyihir dan ksatria terlambat.

Hanya saja, di mataku, mereka sengaja melakukannya.

Saat ini, Hutan Sanctus sedang dipenuhi penyihir dan penjaga. Mereka bekerja keras hampir setiap hari untuk membagi daun suci ke dalam kantung jerami dan mulai didistribusikan. Itu artinya, mereka akan selalu berada di kota ini. Nah, kalau begitu, kenapa mereka harus terlambat untuk datang?

Kemunculannya memang tidak sering. Tapi, aku yakin mereka sengaja tidak datang karena berharap aku menanganinya. Yah, aku memang bisa menghadapi orang-orang gila. Temian juga sudah mulai belajar cara penyucian. Meski begitu, tetap saja, terakhir kali aku menyerap sihir hitam, aku berujung dengan muntah darah dan sakit di seluruh tubuh.

"Aku sudah lebih baik sekarang," kataku sambil berjalan ke salah satu jendela. "Meski rasanya aku masih tak ingin keluar rumah."

"Saya bisa mengatakan itu pada Tuan Roulette, Nona."

Aku menggeleng, mengamati Temian yang sudah berdiri di halaman. Gadis itu berdiri membawa sebuah buku sambil mengulurkan tangannya ke depan, sepertinya sedang mempelajari sihir. "Tak apa. Aku masih bisa melakukan ini, kok."

"Sebaiknya, Anda tak memaksakan diri," ujar Aresy cemas.

"Tenang saja. Aku akan berhenti jika memang tidak sanggup lag—Uhuk!"

Akh. Sial.

"Nona!" sentak Aresy langsung mendekat padaku. "Apa hari ini Anda tidak usah datang saja?"

"Aku baik-baik saja, Aresy." Aku menatap telapak tangan kananku, tak menemukan adanya darah di sana. "Daun di Hutan Sanctus sudah mulai berkurang, kan? Tetapi baru daerah utara saja yang terpenuhi. Setidaknya, aku harus melakukan ini empat kali lagi, baru bisa beristirahat dengan tenang."

Beristirahat dengan tenang .... Entah kenapa malah terdengar aku akan mati.

"Tapi, Nona—"

"Aaaaaa! Sudah, sudah." Aku mendorong bahunya ke arah pintu. "Aku akan segera ke ruang makan. Tunggu saja aku di sana, oke?"

"Nona! Nona Mayo!"

~•~

"Diana," panggilku pada seorang pelayan yang baru melintasi ruang makan.

Gadis berambut panjang cokelat itu langsung mengangguk. "Ya? Apa ada yang Nona butuhkan?"

"Tidak," jawabku sambil menggeleng. "Apa kau melihat Yohan?"

"Yohan sedang pergi menemani Riech membeli keperluan mingguan," jawab Diana.

"Oh, baiklah, baiklah. Terima kasih," balasku lalu berlalu pergi.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang