• 68 : Sarapan

56 11 1
                                    

Aku sama sekali tak memiliki hak untuk marah. Karena dari awal, aku selalu menggunakan Tuan untuk perlindungan. Jadi, jika tiba-tiba ia membawaku pergi, seharusnya aku mengerti maksudnya.

Yah .... Aku mengerti.

Aku sangat mengerti kalau dia tak ingin kita mati.

Tapi .... TAPI! TETAP SAJA AKU KESAL!

Tuan tak memberikan penjelasan yang benar! Bahkan sejak itu, ia jauh lebih waspada terhadap sekitar dan semakin sering melarangku melakukan sesuatu. Padahal saat itu, wajah asliku belum diketahui. Dan kami juga belum bertemu secara langsung dengan pemilik sihir hitam yang Tuan maksud.

Karena minimnya informasi, aku jadi harus mengikuti arah yang kulalui saat mengikuti pria figuran itu. Tetapi, aku tidak turun ke bawah jembatan. Aku menyusuri langkah yang sama dan akhirnya sampai di depan sebuah bangunan berlantai satu yang sederhana.

Panti Asuhan Deluis.

Kalau tidak salah, aku juga melihat panti asuhan ini kemarin. Letaknya di belakang bangunan yang lain. Di Virtus, bangunan seperti itu cenderung diabaikan. Tetapi, saat pagi ini aku kembali ke sini, aku bisa melihat beberapa orang berlalu-lalang di depan panti asuhan dan beberapa masuk ke dalam.

Hmmmm ....

Baiklah, mungkin terdapat perbedaan sosial antara di sini dan di Virtus. Tetapi, aku bertanya-tanya kenapa seorang pedagang sepatu keliling masuk ke dalam panti asuhan.

Maksudku, anak-anak di panti asuhan cenderung tidak memiliki uang. Orang tua pengasuh yang ada di sana, mungkin saja memiliki uang. Tetapi, bukan berarti mereka akan menghabiskannya untuk membeli sepatu, kan? Selain itu, kenapa mereka tidak pergi keluar saja daripada pedagang yang datang?

Pedagang sepatu itu tak terlihat seperti sedang menawarkan, melainkan memang datang karena diminta. Dari gaya bicara dan senyumannya yang akrab, ia terlihat sudah terbiasa di sini. Apa dia juga orang tua pengasuh? Itu agak tidak mungkin. Apa hanya sekadar teman? Tapi firasatku tak mengatakan begitu ....

Panti asuhan ini mencurigakan.

"Mau beli koran?"

Aku langsung melangkah mundur selangkah karena terkejut saat tiba-tiba sebuah benda berwarna abu-abu ada di depanku. Seorang laki-laki tersenyum bisnis, mengulurkan korannya padaku.

"Eh .... Ah, iya." Aku ikut mengulas senyum, mengambil uang dari saku rokku.

"Hebat," celutuknya. "Kau tahu harganya padahal tidak bertanya."

Eh? Maksudnya? "Memang ... kenapa?"

Ia menatapku, lalu tersenyum miring. "Koran yang kujual ini lebih murah dibanding koran lainnya," katanya menunjuk tas kainnya yang berisi banyak koran. "Harganya mirip dengan koran di Kerajaan Virtus."

Di Virtus, aku pernah ikut dengan Yohan untu membeli koran, sekaligus ia menunjukkan tempat-tempat barang murah. Jadi, aku berpikir kalau koran di sini pun sama.

Sekarang, anak ini tampak curiga padaku.

"Kau bukan dari kerajaan ini, kan?" tanya laki-laki itu dengan suara rendah.

Jeli sekali. Dia benar-benar jeli dan punya firasat yang baik. Tenang, Mayo, kau bisa melewati ini.

"Aku tak mengerti maksudmu," jawabku sambil tersenyum. "Aku tahu harga koran karena aku menebak dan memperhitungkannya," lanjutku sambil berpura-pura terlihat pintar. "Tapi, kenapa kau tahu harga koran di Virtus?"

Laki-laki dengan topi baret cokelat tua itu terlihat terkejut dengan balasanku. Mata hijaunya begitu jernih, tapi memancarkan sorot yang jahil. "Baiklah. Aku akan mempercayaimu," balasnya.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang