• 94.5 : Satu Pohon yang Hampir Gugur

64 13 2
                                    

Author pov.

"Tuan .... Di mana Kakak?"

Ace mengalihkan kepalanya pada gadis kecil yang duduk menekuk lututnya, bersandar pada pohon. Wajah Illya terlihat begitu kacau, serta kedua matanya memerah bengkak. Masih belum bisa mengusir kesedihannya, ia terkadang kembali meneteskan air mata sambil sesekali sesenggukan.

"Sedang menunggu di suatu tempat," jawab Ace. "Mayo tak ingin kau melihatnya sedang menghadapi kematian. Karena itu, ia meninggalkanmu."

"Tidak ...." Illya mengeratkan pelukan pada kakinya. "Bukan itu yang kuinginkan. Kupikir ... aku akan bisa selamanya bersama Kakak. Kenapa Kakak memilih kematian?"

"Mayo tahu kalau ia bisa diselamatkan. Tapi, selama ia ada di dunia ini, ia juga akan dipaksa berbuat kejahatan," jelas Ace. "Lagipula, takdir sebagai antagonis adalah kematian. Ia hanya memenuhi takdirnya."

"Bukan. Itu artinya dia menyerah!" bentak Illya tak terima. "Kakak .... Kakak menyerah pada hidupnya sendiri!"

Ace tentu saja pernah mengatakan itu pada Mayo. Tetapi, gadis itu, lagi-lagi membalasnya dengan sederet kalimat yang mudah diucapkannya, serta senyuman.

"Dari awal, aku memang menyerah, kok. Tapi setidaknya, aku ingin memilih kematianku sendiri."

Mayo bukan orang yang berpura-pura tersenyum untuk menutupi kesedihannya. Tapi, senyum memang hal yang biasa ia lakukan. Sejak awal, Mayo memang suka tersenyum. Sedih atau tidak, Mayo akan tetap tersenyum. Dan ... ia memanfaatkan itu untuk menutupi banyak hal.

"Meski begitu, keputusannya sudah bulat." Ace mengalihkan pandangannya pada arah suara langkah yang muncul dari belakang. "Kau tak bisa memaksanya untuk merubah itu."

"Ah, Ace. Kau di sini?" tanya Celestia yang muncul dari balik pohon. "Apa ... Mayo sudah ...."

"Tidak. Dia sedang menunggu di tempat lain," jawab Tuan.

Tapi tiba-tiba saja pengelihatan yang muncul di kepalanya membuat Tuan langsung berteleportasi. Ia pergi begitu saja, meninggalkan Illya, Celestia, dan lainnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Celestia heran.

"Kenapa dia tiba-tiba pergi?" Ernest ikut mengangkat suaranya. "Dan lagi, Celestia, kau yakin dia bisa dipercaya?"

"Hei," sahut sebuah suara dari belakang. Gadis berambut cokelat itu menerobos kerumunan, maju ke barisan depan dan memelototi Pangeran Kedua. "Meski kau pangeran, aku tak akan segan memarahimu."

Ernest menautkan alisnya. "Kau Temian, kan? Kenapa tiba-tiba marah?"

"Aku Temian dan aku adalah teman baik Mayo!" seru Temian kesal. Ia mengarahkan telunjuknya langsung pada wajah Ernest, mengabaikan para pengawal khusus yang tidak terima dengan tindakannya. "Jika kau tidak mempercayai Tuan, sebaiknya kau diam saja!"

Tentu saja Ernest langsung menautkan alisnya. Ia ikut memelototi Temian. "Kenapa juga aku harus mempercayai seorang penjahat sepertinya. Dan kau teman Mayo? Aku tak peduli apa pun tujuannya, tapi dia hampir membunuh Sea!"

"Yah, itu benar ...." Hyde tersenyum tipis. "Tapi kau tidak sebaiknya berbicara begitu, Ernest. Kau juga, Temian, semua orang bebas berpendapat."

Illya yang melihat itu hanya bisa diam. Kenapa Kakak menyelamatkan orang-orang seperti mereka? Mereka bahkan tak menghargai perjuangan Kakak ....

"Haaaah?" Temian mengarahkan pandangannya pada Hyde. "Jadi, kau memintaku untuk diam? Diam saat teman baikku diejek? Di saat kerajaan tak melakukan apa pun, Tuan satu-satunya yang menyelamatkan Ma—"

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang