Aku menelan ludah, melangkahkan kaki ke sana. Secara refleks, Tuan menjauh dariku. Tapi, sekarang aku sedang tak peduli tentang itu.
Menelan ludah, aku berlutut di depan Ken dan menyentuh lengannya. Dingin, sangat dingin. Pakaiannya yang sedikit terkoyak, terlihat ia habis bertarung. Tubuh Ken sudah sangat dingin dan ... matanya tak bisa ditutup.
... percuma.
Aku mengepalkan tangan, lalu berdiri. Dengan langkah berat, aku berjalan menuju tangga. Aku belum menginjak satu anak tangga sama sekali, tapi tubuh Villyan sudah terlihat. Laki-laki itu terlentang di atas lantai.
Sama seperti Ken, ada genangan darah di sekeliling tubuhnya. Tetapi, pakaian Villyan tidak rusak begitu hebat. Sebuah belati besar tertancap di perutnya, sama sekali tidak dicabut. Lalu, kakinya tertekuk ke arah yang salah.
Aku tak bisa membayangkan betapa sakit kaki yang ditekuk seperti itu.
... Diana dan Riech.
"Apa Riech ada di dapur, ya?" tanyaku sambil menuruni tangga. "Tuan, apa kau mau ke dapur duluan?"
"Tidak. Aku akan menemanimu."
... terima kasih.
Suara langkahku terdengar begitu keras di rumah yang mendadak dingin dan suram ini. Atmosfer yang aneh mengudara dengan tidak tahu dirinya. Aroma-aroma darah yang memuakkan sangat menusuk hidungku.
Di lorong lantai pertama, darah sudah mengalir dari belakang sana. Kalau tidak salah, memang ada tangga di dekat dapur. Sebentar lagi jam makan malam, seharusnya Riech sedang mempersiapkan makanan di dapur.
Apa yang akan Riech buat, ya? Aku ingin makan masakannya lagi ....
Langkahku berhenti di depan pintu dapur yang tertutup. Aku menelan ludah, lalu memberanikan diri menoleh ke kanan. Pada tangga dapur, Riech tergeletak. Tangannya terputus dari tubuh dan tergeletak miring pada tangga, terus mengalirkan darah merah yang begitu pekat.
Di dadanya terdapat dua bekas tusukan pedang.
"Diana ...." Aku kembali berbalik. "Di mana Diana?"
Tuan menatapku begitu lama, sebelum berjalan ke sebuah ruangan yang tak pernah kusentuh. Pintu di sana masih tertutup, tapi ada darah yang keluar dari sela bawah.
Aku mendekat ke sana dan membuka pintu dengan berat yang tidak wajar, membuatku semakin yakin Diana ada di baliknya. Menarik napas panjang, aku membuka pintu sedikit lebih keras.
Terdengar suara yang menggelinding, sebelum akhirnya menabrak dinding, membuatku langsung menoleh.
Dug.
Sebuah kepala membentur dinding.
Di dalam ruangan dengan satu ranjang dan meja itu, ada tubuh yang sudah terjatuh, sepertinya akibat doronganku pada pintu.
Tubuh ... tanpa kepala.
"Tuan .... Apa yang ... harus kulakukan?"
Aku mendekati kepala Diana, lalu mengambilnya, membiarkan sensasi dingin menjalar. Rambutnya menjadi sangat pendek dan tidak rapi. Mata dan mulut Diana tertutup begitu erat.
"Beberapa jam lalu, kami ... makan bersama .... Makan roti yang kubentuk dan mereka menertawakannya ...."
Aku membawa kepala sambil mendekat pada tubuh Diana. Kuletakkan kepala di sampingnya, lalu membalik tubuh itu.
"Baru saja aku menyusun rencana untuk meninggalkan mereka ...."
Tapi ternyata, mereka yang lebih dulu meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TGJ #1] The Tale About Pink Haired Villainess
Fantezie[A Book About Journey] Reinkarnasi? Ah, aku sudah banyak membaca cerita tentang itu di kehidupan sebelumnya. Tapi, siapa sangka aku benar akan mengalaminya? Di dunia yang baru ini, aku hanya akan melakukan apa pun yang kuinginkan! Itulah tekadku. T...