• 46 : Menara Sihir

61 12 0
                                    

Seperti yang kuduga, Mama dan Papa tak bisa bertindak banyak dengan Yohan yang menghilang. Ditambah lagi, mereka tak terlihat berusaha mencarinya juga. Tak ada raut sedih yang muncul di wajah mereka. Selain itu, mereka sama sekali tak memberitahuku di mana keluarga Yohan tinggal.

Mungkin mereka tak ingin aku terlalu bersedih dan malah melakukan hal-hal yang aneh. Karena Mama dan Papa menganggapku sebagai anak yang nekat dan bisa saja masuk ke 'area gelap' jika ingin.

Bagaimana pun, kami adalah bangsawan. Tak seharusnya para bangsawan berada di 'area gelap'.

Sayangnya, aku tak ingin menyerah begitu saja. Jika Mama dan Papa tak bisa membantu tentang Yohan, maka aku akan pergi ke ibu kota, menemui Roulette.

Karena itu lah, sekarang, aku berada di menara sihir. Tuan memutuskan untuk pergi, ia memilih untuk tidak mencari resiko dengan muncul di dalam gerbang utama kerajaan begitu saja. Untuk sekarang, kupikir itu adalah hal yang baik. Kedatangan Tuan jelas akan menimbulkan perang besar, ini belum saatnya untuk itu.

"Apa Nona akan langsung bertemu dengan Tuan Roulette sekarang?" tanya Aresy yang berjalan di sisi kananku.

"Ya, jika memang bisa," jawabku. Sejujurnya, dengan keadaan sekarang, aku tak yakin apa bisa menemui Roulette dan mengatakan tentang Yohan.

Aku mengedarkan pandangan tak menemukan siapa pun di halaman depan menara sihir. Biasanya, akan ada banyak penyihir yang berkeliaran di luar, entah untuk berlatih sihir atau sekadar berlalu-lalang. Tetapi, kali ini halaman menara sihir sangat sepi. Aku hanya menemui dua penyihir sejak datang dari gerbang tadi.

"Eh? Nona Mayo?"

Mendengar suara yang telah lama tak muncul, aku langsung menoleh. Seorang gadis berambut pirang pucat dengan jubah putih khas penyihir menara, berdiri di depan pintu menara sihir. Mata gadis itu melebar saat melihatku, sebelum bibirnya mengukir senyum.

"Selamat siang, Nona Verren," sapaku. "Lama kita tidak bertemu."

Berbeda dengan Aresy yang hanya tersenyum hangat, Temian langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Yo, Verren!"

Verren menuruni tangga dengan cepat, mendekati kami dengan penuh antusias. "Selamat siang. Saya senang bisa bertemu dengan Anda lagi." Ia lalu menoleh pada Aresy dan Temian. "Halo, Aresy, Temian. Senang melihat kalian baik-baik saja."

"Buku-buku yang kau pinjamkan sangat membantu," ujar Temian. "Kebetulan aku membawanya juga saat ini. Jadi, aku akan mengembalikannya padamu. Catatan milikmu pun sangat mudah dimengerti."

"Berkat Anda, Temian bisa mempelajari banyak mantra," sahutku. "Saya berterima kasih Anda mau mengajari Temian."

Rona merah timbul di pipi Verren. Gadis itu terlihat malu dengan pujian yang diberikan. Ia buru-buru menggeleng. "Tidak, tidak. Itu karena Temian yang cepat mengerti, Nona."

Aresy tertawa kecil. "Tetap saja, itu berkat Anda."

Verren terlihat makin memerah, sebelum akhirnya ia berdehem, kembali memasang raut wajah biasanya. "Saya terkejut melihat Anda sekalian ada di sini. Saya tak mendengar kalau Nona Mayo diminta untuk datang. Apa ada yang terjadi?"

"Iya .... Saya ingin bertemu dengan Tuan Roulette untuk membicarakan beberapa hal."

Verren tampak akan menjawab, sebelum sebuah suara yang menyerukan namanya terdengar dari arah pintu menara sihir.

"Verren? Verrennn? Kau di mana?"

Dengan dramatis, seorang gadis berambut hitam panjang sepinggang yang sangat indah, keluar dari dalam menara sihir. Gadis bertubuh tinggi dan langsing itu mengedarkan pandangan, sebelum terhenti ke arah kami.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang