• 73 : Rumah Duke Tranos

29 10 1
                                    

"Kau yakin?"

"Ya." Aku menaikkan tudung jubahku lalu melompati gerbang depan rumah Duke. "Sudah tidak ada lagi gunanya bersembunyi. Dia pasti sudah tahu kita masuk."

"Tapi ini hal yang gegabah," ujar Tuan.

"Memang. Masih ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Duke Tranos. Tapi, aku sudah muak," balasku berjalan di halaman depan. "Lagipula, dia mengundang kita. Tidak ada penjaga di rumah seorang Duke, itu aneh sekali. Yah, mungkin juga ini adalah jebakan."

"Aku akan melindungimu jika ini memang jebakan."

... aku senang mendengarnya. Jika itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Tuan sebelum aku mati, tak masalah. Itu bukan kalimat yang buruk.

Tapi ....

"Aku tak ingin Tuan mati," balasku. "Jadi, jika memang ada sesuatu yang terjadi, kita akan pergi dari sini."

"Aku mengerti."

Menggunakan sihirnya, Tuan membuka pintu rumah Duke Tranos. Seperti dugaanku, tak ada siapa pun di baliknya. Rumah ini terlalu sunyi untuk rumah seorang Duke. Jebakan atau undangan, kira-kira mana yang tepat?

Aku berhenti di depan tangga kembar yang mengarah pada koridor kanan dan kiri. "Di mana?"

"Kiri."

Mengikuti perkataannya, aku melangkahkan kaki menaiki tangga ke kiri. Langkah kami benar-benar menggema di dalam rumah dengan aura yang sangat buruk ini. Suasananya begitu mencekam. Aku tak mendengar suara apa pun selain langkah kami. Tidak ada tanda-tanda pergerakan orang lain juga.

Hebatnya, aku tidak merasa takut.

Ini mungkin karena aku sudah lelah dengan semuanya. Mungkin juga karena aku berharap mati.

... ah, aku salah.

Bukan hanya takut. Tetapi, memang tidak ada perasaan di dalam diriku. Emosi yang kurasakan sebatas amarah biasa, bukan karena kematian Gail. Tidak ada kesedihan dan kecemasan. Aku juga tidak merasa bersalah, meski berpikir semua orang mati karenaku.

Aku ... seperti tak memiliki emosi. Aku mungkin berhasil membunuh perasaanku.

"Kanan."

Aku berbelok ke koridor kanan sambil menarik belati yang selalu kusimpan di balik gaun.

Beberapa kali, Gail membantuku menajamkan belati milik Aresy ini, karena aku tak bisa melakukannya. Ya ... sekarang aku tak akan bisa menajamkan belatiku lagi.

"Di sana."

Aku menghentikan langkah di depan sebuah pintu dengan dua daun. Rasanya seperti akan melawan bos terakhir.

Hei, penulis. Apa ini adalah lawan terakhir? Apa aku akan mati di sini? Apa semua penyiksaan yang kau berikan sudah selesai?

Jika 'ya', ijinkan aku mati di sini.

Cklek.

Sebuah ruangan dengan meja panjang dan kursi-kursi tersusun menyambut pandanganku. Aku tak sempat melihat hal selain patung singa besar di sudut ruangan, karena perhatianku sudah langsung tertuju pada pria yang berdiri si dekat jendela.

Bagaikan adegan di dalam film. Seorang musuh terakhir berdiri berhiasi cahaya bulan. Di tengah kegelapan, mata merahnya terlihat begitu menyala—hal yang tidak masuk akal.

Tubuhnya sedikit miring ke arahku dan ia menyunggingkan senyum. "Mayo Griss."

Hebat. Benar-benar seperti dialog dalam cerita.

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang