• 51 : Peraturan Dalam Cerita

61 14 2
                                    

Begitu membuka mata, aku menemukan bangunan rumah sakit di depanku. Aku memakai kaos ungu dan celana panjang hitam, dengan infus di tangan kananku.

Apa aku bermimpi lagi, ya?

Hmm. Hmmm. Kuharap mimpi ini tidak sejahat sebelumnya.

Aku melangkahkan kaki pada samping gedung, di mana terdapat taman kecil, tempat biasa aku berbicara dengan Carla. Seperti dugaanku, Carla ada di sana, sedang duduk pada salah satu bangku taman dan memakai headseat-nya.

Sambil tersenyum, aku duduk di sampingnya, mengintip layar ponselnya. Tetapi, aku tak bisa melihat apa-apa di sana. Padahal, Carla jelas seperti sedang membaca sesuatu.

Apa karena sebelumnya aku tak pernah mengintip isi ponselnya? Kalau begitu ... ini adalah ingatanku lagi.

"Carla," panggilku membuatnya menoleh. "Lagi denger apa?"

"Melodi lagu yang baru," jawabnya sambil melepas salah satu headseat-nya. "Nih. Bagus, nggak?"

Aku memakai benda yang sudah lama tak kugunakan itu. Suara lantunan piano yang lembut masuk ke dalam telingaku, disahut oleh sebuah biola. "Keren!" kataku senang. "Ini bagus banget! Kamu bakal nyanyiin ini?"

Dengan senyum cerah, Carla mengangguk. "Iya, aku lagi hapalin liriknya," jawabnya sambil menunjukkan layar ponselnya padaku, tapi tetap saja aku tak dapat melihat apa pun di sana.

Jadi, aku hanya mengeluarkan pujian saja. "Hebat, hebat. Pasti nanti jadinya bakal keren banget."

Haaah .... Sudah lama aku tidak berbicara seperti ini lagi.

"Pasti bakal lebih bagus kalau kamu juga ikut tes bakatnya," ujar Carla. Ia melepaskan headseat-nya, membuatku juga melakukan hal yang sama. "Suaramu bagus, lho."

"Eh?"

Carla melirikku sambil tertawa kecil. "Aku sering dengar kamu nyanyi di dalam kamar. Makanya, aku nggak langsung masuk. Habis kalau kamu tahu aku lagi dengerin, kamu nggak bakal nyanyi lagi."

Oh, benar. Dulu aku sering begitu. "Yah, adikku bilang suaraku jelek banget, sih. Kamu tahu dia bilang apa?" Aku berdehem, mencoba mengubah suaraku. "Katanya gini, 'Suaranya Kakak jelek! Nggak lurus! Terus serak-serak aneh!'" Aku tertawa renyah. "Padahal masih kecil, tapi ngatainnya alus bener."

Suara tawa Carla yang manis ikut keluar. "Adikmu aneh banget," katanya sambil berdiri. "Padahal, suaramu bagus, loh! Aku serius."

"Nggak, nggak." Aku mengibaskan tanganku. "Nggak perlu hibur aku. Suaraku ini jelek banget."

"Kamu yang jangan dengerin adikmu. Masa kamu remehin penilaian seorang Carla," balasnya sambil mengibaskan rambut sombong.

Aku tergelak. "Iya, deh. Suaraku bagus."

"Gitu, dong." Tangan Carla terulur ke depan, menunjuk sebuah minimarket di samping rumah sakit. "Mau es krim? Aku belikan."

"Mau!"

Sudah lama sekali aku tidak memakan es krim! Meski di dunia itu ada es krim, rasanya tak seenak es krim sekarang!

Mumpung di dalam mimpi, aku juga ingin memakan burger dan pizza juga. Harusnya aku bisa melakukannya, kan? Karena ini mimpiku ....

Tidak, tidak. Mengingat mimpi yang terakhir kali, aku tidak bisa menyelamatkan Carla meski ingin. Meski ini mimpi, aku tak bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Menyebalkan.

"Nih."

Aku mengerjap, menemukannya sudah kembali dengan dua bungkus es krim cokelat.

... hebat. Cepat sekali. Apa karena ini mimpi?

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang