Alpha :0.2: Omega

29 3 0
                                    

"Akh!"

Di tengah malam, gadis itu terbangun. Lampu kamarnya mati, satu-satunya penerangan hanya berasal dari laptop yang masih menyala di lantai.

Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Napasnya memberat. Seulas ekspresi penuh kengerian terbentuk di wajahnya. Ekspresi itu semakin berubah buruk saat ia tak sengaja melihat wajahnya di kaca.

Ia bahkan jijik dengan wajahnya sendiri.

Wajah buruk rupa yang selalu dibencinya.

Yang selalu memberikannya ketakutan.

Menghantui kehidupannya.

"Noir ...."

Suara gemetar keluar dari bibir keringnya yang mengelupas dan sedikit berdarah.

"Noir." Ia memanggil lagi.

Masih tak ada balasan, gadis itu bangkit berdiri. Ia melangkahi laptop dan kertas-kertas, lalu mengambil kain yang terjatuh di bawah, menutupi cermin di sana. Aku harus membuang cermin ini.

Dirinya membenci cermin.

Karena cermin hanya akan memantulkan dirinya, wajahnya, dan keberadaannya yang buruk.

Baru saja bibirnya akan terbuka untuk memanggil lagi, aliran ingatan masuk ke dalam pikirannya.

Sebuah ingatan yang bukan miliknya, bahkan tidak pernah dialaminya.

"Nama saya Aresy."

"Selamat ulang tahun, Nona Mayo!"

"Aku membenci mereka."

"Celestia menyebalkan."

"Chaiden!"

"Selamat pagi, Nona."

"Yohan .... Maafkan aku!"

"Mulai sekarang, nama kalian adalah Rigel."

"Aku menyayangimu, Temian."

"Aku pasti akan memutilasi Duke Tranos."

"Hancurkan mereka."

"Selamat tinggal."

"Aku mencintaimu, Tuan."

"Mayo ...."

"KAKAK!"

Bruk.

Gadis itu jatuh ke bawah. Napasnya semakin terasa begitu sesak. Tangan kanannya terangkat, menjambak rambutnya sendiri.

"Apa-apaan ...." bisik gadis itu kesakitan. "Kenapa ...."

Ia tak mengetahuinya. Ia tak tahu siapa sosok 'Mayo Griss'.

Tapi, ia mengetahui seseorang bernama Mayo Griss.

Dan ingatan terakhir yang masuk ke dalam pikirannya membuat gadis itu menyadari semuanya.

"Aku akan tulis ulang semuanya."

Bibir gadis itu terangkat, membentuk seulas senyum. Ia kembali berdiri.

Mendadak kengeriannya berubah.

"Noir. Keluarlah."

Sepasang mata merah muncul di sudut ruangan.

"Kau yang memanggilku."

"Kukira kau meninggalkanku."

"Tak seharusnya aku muncul."

Gadis itu mengepalkan tangannya. Tak membalas, ia hanya melangkah. Telapak kakinya menginjak tetesan-tetesan darah di lantai. Lalu, ia berhenti di depan meja belajar dengan cutter bernoda darah di sana.

"Aku ... sudah tidak kuat lagi. Semuanya makin hancur," ucapnya pelan. "Memang, seharusnya aku tidak pergi dari sana."

"Hentikan."

"Aku sudah berjanji padamu."

"Tapi, kau tidak boleh kembali."

"Seseorang mengubah jalan ceritanya dan bahkan aku sendiri sudah di titik akhir. Tentu saja, aku bisa kembali."

Semua juga sangat menyakitkan untuknya.

Semakin menyakitkan karena tak ada siapa pun di sampingnya.

Tangan kanan gadis itu terulur, mengambil cutter.

"Mari kita bertemu lagi, Noir."

Crash.

~•~

Gadis itu berlari.

Dengan air mata yang terus mengalir.

Seolah tak peduli dengan derasnya hujan.

Dengan seragam yang sudah sangat basah.

Di pinggir jalan, hanya kesedihan yang menyelimuti dirinya sekarang. Isakan tak berhenti keluar dari mulutnya yang mungil.

Wajah cantiknya bahkan hancur karena tangisan yang tak berhenti sejak ia meninggalkan rumah.

Aku ... mau mati aja.

Itu yang dia katakan, tapi ... dirinya takut untuk mati.

Akhirnya, langkahnya memelan. Ia berjongkok di pinggir jalan, menangis kuat. Tak ada yang melewatinya. Mobil yang lewat pun tak tertarik dengannya.

Gadis itu sudah sangat sendirian sekarang.

Tanpa ada siapa pun di sampingnya.

Tak peduli berapa kali pun ia mengulurkan tangan meminta pertolongan, ia tetap sendirian.

Dan tak ada tempat untuknya pulang.

Lalu, sebuah cahaya menyilaukan menyambut dirinya.

Sangat menyilaukan.

Membuat gadis itu mengernyit.

Sebelum akhirnya, tubuhnya terlempar.

BRAK!

~•~

Sesuatu akan diulang.


×××

1 September 2022

[TGJ #1] The Tale About Pink Haired VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang