43. ORANG-ORANG DARI MASA LALU

54 23 1
                                    

"Nyawa dan nama mereka hilang, tak terkenang. Kisah mereka berakhir begitu saja."

Tulungagung, 2003.

Setelah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya kami tiba di Tulungagung saat hari sudah sangat gelap. Aku pernah datang ke tempat ini beberapa tahun yang lalu, tetapi waktu itu tak banyak memperhatikan. Sekilas kabupaten ini mirip seperti Lumajang, tempat Ranny dan keluarganya tinggal. Namun, aku yakin jika kita mau memperhatikan lebih saksama, pasti tempat ini memiliki keunikan tersendiri.

Sayangnya, saat hari sudah malam seperti ini tak banyak yang bisa dilihat. Maksudku, tentang kehidupan nyata. Jalanan sudah sepi, berbeda sekali dengan kondisi di Bali yang semakin malam semakin ramai. Kami check-in ke hotel, bertanya kepada resepsionis di mana letak rumah makan terdekat yang masih buka, pergi ke sana dengan berjalan kaki kemudian kembali ke hotel. Itu terdengar sangat sederhana dan singkat, bukan? Faktanya, di sepanjang perjalanan, aku melihat para hantu dari bangunan-bangunan tua sedang mengintip dari balik jendela.

Nah, kalian lihat, yang kualami tak sesederhana itu.

Para hantu tersebut tampak mengenakan pakaian yang sudah lusuh dan kuno. Diam-diam, aku mulai memperlambat langkah kakiku lalu memejamkan mata sejenak. Samar-samar, aku mendengar suara teriakan dan kekacaubalauan. Suara tangis, rintihan, kemarahan, hentakan kaki, barang-barang yang jatuh berantakan, letusan, dobrakan pintu, bahkan hujan. Seketika malam terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Saat aku membuka mata, aku berkata dalam hati... ah, rupanya kalian berasal dari jaman penjajahan.

Kalian tahu, orang-orang yang berusaha berjuang untuk sekadar bisa bertahan, gagal, kemudian melarikan diri dan bersembunyi karena perang? Kurang lebih, seperti itulah nasib mereka di masa lalu.

Wajah-wajah mereka menampilkan ekspresi takut, tetapi juga rasa ingin tahu yang mendalam. Sepertinya, banyak dari mereka yang tak menyadari bahwa masa sudah silih berganti. Mereka masih saja terjebak pada masa yang sama dan karena itulah aku menyebut mereka dengan sebutan "orang-orang dari masa lalu".

Menurutku pribadi, tak apalah mereka tetap tinggal di sekitar kita selama tak mengganggu atau merugikan. Toh mereka telah mengalami hal-hal berat dan meninggal secara tak layak di tanah kelahiran mereka sendiri, bahkan sebelum kita yang hidup di masa sekarang ini terlahir. Biarlah. Biarkanlah. Tak perlu kita mengusik atau mengusir. Mereka semua telah mengalami hal-hal menyedihkan yang sulit digambarkan dengan kata-kata dan karena itu aku merasa sangat kasihan, bukan justru ketakutan. Namun, tetap saja, jika mereka memiliki kesempatan untuk bisa "pergi", melanjutkan "perjalanan" ke alam selanjutnya, itu jauh lebih baik.

Aku tak bisa hanya sekadar lewat dan pura-pura tak tahu atau tak melihat mereka. Itu terasa aneh, ganjal dan tak sopan apalagi saat mereka secara terang-terangan menyadari penglihatanku. Aku tahu bahwa kebanyakan orang hanya akan menghormati para pahlawan yang tercantum dalam buku sejarah dan tak menyadari bahwa ada "partisipan-partisipan" yang tak diakui dan tak tercatat yang jumlahnya tak bisa kita bayangkan. Tubuh mereka dibuang ke dalam hutan, dihanyutkan ke dalam sungai, dipendam dan ditumpuk bak binatang. Mereka tak pernah dibicarakan seakan tak pernah ada padahal mereka "masih" ada di sekitar kita, di tempat orang-orang yang masih hidup tinggal.

*Catatan: bisa hidup dan tinggal berkat perjuangan mereka yang telah tiada.

Ya, ampun, berjuang untuk apa sih? Berlebihan sekali! Pasti ada saja orang yang berpikiran seperti itu. Padahal jika kita mau merenungi secara mendalam... di masa tersebut, tentu saja semuanya terasa berat karena ada keluarga yang harus dilindungi sekaligus diberi makan, belum lagi anak-anak lain yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya menjadi korban perang. Mereka tak bisa melepaskan sekadar ikatan hanya karena ingin menyelamatkan diri sendiri.

Di masa penjajahan, orang-orang jauh lebih kompak, peduli, tolong-menolong, setia kawan dan saling bertenggang rasa. Semakin maju sebuah jaman, aku rasa sepertinya semakin bergeser pula nilai-nilai budi luhur. Orang-orang menjadi lebih individualis dan mementingkan diri sendiri, tak peduli dengan orang-orang yanng ada di sekitar, bahkan sanak keluarga. Jika di masa lalu ada yang meninggal karena menolong orang lain akan dianggap sebagai sebuah rasa kemanusiaan yang mendalam, di masa depan hal tersebut justru dianggap sebagai sebuah kebodohan. Miris, tapi itu nyata. Aku pernah melihatnya dalam beberapa kasus. Jaman sudah mulai berubah.

Kutundukan kepalaku sembari berkata, "Permisi," untuk menyapa mereka.

Tahu bagaimana balasan mereka?

"Monggo-monggo," kata mereka dengan lembut, kompak dan sambil tersenyum, layaknya sekumpulan manusia biasa walau balasan tersebut sempat ada sedikit jeda.

*Silahkan-silahkan.

Walau sudah mengalami begitu banyak hal, bahkan kematian sekalipun, rupanya rasa kemanusiaan mereka masih belum hilang.

Namun, bagaimana dengan kita yang masih hidup?

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 43 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕 Cuma butuh beberapa DETIK kok.

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang