36. NESTAPA

1.2K 28 10
                                    

"Awal mula penderitaan tanpa akhir yang mengubah seluruh duniaku."

Kuta, 2000.

Beberapa hari ini kedua orang tuaku sangat sibuk. Papi mempersiapkan pembukaan galeri dan Mami mempersiapkan pembukaan toko baru di salah satu mall. Aku bahkan mendengar jika hari ini ada wartawan yang datang untuk mewawancarai mereka. Daripada mengganggu, kuputuskan untuk tinggal di bungalow bersama Nenek, kali ini sampai mereka pulang.

Karena asyik bermain di dalam kamar, aku baru sadar jika hari sudah larut. Aku mengambil sebuah kotak susu rasa stroberi dan meminumnya, salah satu kebiasaanku sebelum tidur. Kemudian aku mengambil beberapa kotak lagi karena tiba-tiba menjadi sangat haus. Saat menghabiskan kotak kelima tiba-tiba tenggorokanku gatal dan perih, perutku melilit, kepalaku pusing, bahkan mataku berkunang-kunang. Dengan tubuh yang sempoyongan, aku segera menuju ke kamar mandi dan berjongkok di depan closet.

Huuueekkk... Huueekkk...

"Ensa! Kamu kenapa?" Nenek langsung panik saat melihat aku mengeluarkan semua isi perutku.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan lemah karena merasa sakit luar biasa.

Wajah Nenek terlihat pucat pasi. Ia segera menelepon Mami. "En, cepat pulang, si Ensa—"

Lalu aku kembali muntah.

Tak lama kemudian, Mami dan Papi datang dengan berpeluh keringat. Samar-samar aku mendengar Mami dan Papi bertanya mengenai keadaanku. Sayangnya, aku tidak bisa menjawab. Badanku terasa lemas lalu tiba-tiba menggigil. Rasanya sangat aneh. Lalu aku pun tak sadarkan diri.

»©»©»©»

"Berapa kotak susu yang anak Ibu minum?" tanya seseorang.

"5 kotak, Dok."

"Anak Ibu keracunan susu kadaluarsa—"

Aku mengerjapkan kedua mataku, merasa silau sehingga harus menyipitkan mata terlebih dulu agar bisa melihat dengan lebih jelas. Ku pandangi Om berbaju putih yang sedang berbicara dengan Mami dan Papi lalu bertanya, "Kita ada di mana?"

Papi berjalan mendekatiku. "Kita di rumah sakit, Ensa. Kamu bagian mananya yang sakit?" Papi menempelkan telapak tangannya pada dahiku.

"Semua," jawabku lalu menangis. "Kepalaku pusing. Ini sama ini sakit. Ini juga sakit. Yang ini juga," lanjutku di sela-sela tangisan, menunjuk ke arah tenggorokan, perut, tangan dan kaki secara bergantian. Lalu aku baru sadar jika tubuhku dipenuhi bintik-bintik merah yang terasa gatal.

"Coba buka mulut," pinta si Om. "Lidahnya coba dikeluarin ya. Aaa..." lanjutnya sambil memberikan contoh.

Aku mengikuti arahannya.

"Anak Ibu dan Bapak sepertinya terkena alergi. Saya rasa susunya sudah mengandung virus atau bakteri—"

Mami dan Papi menggelengkan kepala secara bersamaan.

"Aku nggak bisa napas, Pi. Aku mau gendong," pintaku kepada Papi yang dengan segera menggendongku dari depan, membawaku keluar dari gedung rumah sakit agar aku bisa menghirup udara segar.

Dengan kondisi yang masih lemas, ini adalah pertama kalinya aku melihat penampakan "mereka" yang ada di rumah sakit. Secara garis besar, wujud yang kulihat kebanyakan seperti manusia normal yang sedang mengeluh. Ada yang tampak dipenuhi dengan noda darah, bahkan kehilangan anggota tubuh, ada juga yang merintih sambil melambai-lambaikan tangan seakan memintaku mendekat.

"Pi, kita ke sana aja, yuk," pintaku sambil menunjuk daerah parkiran mobil, berusaha menjauh dari para hantu tersebut.

Papi menuruti permintaanku.

Sayangnya, tempat itu tak lebih baik daripada tempat sebelumnya. Dari posisi itu, aku justru bisa melihat mereka semua bermunculan dari balik deretan jendela kamar rumah sakit pada lantai satu maupun lantai dua. Mereka memang berada pada posisi yang cukup jauh, tetapi tetap saja aku merasa sedang dikelilingi. Dan saat satu per satu dari mereka mulai menunjuk ke arahku, aku langsung menenggelamkan wajah pada bahu Papi.

»©»©»©»

Surabaya, 2000.

Sudah beberapa minggu terlewati sejak aku jatuh sakit. Secara keseluruhan, kondisiku masih tak membaik, bahkan lebih parah. Kini aku mengidap sinusitis dan kaki kananku tak bisa digerakkan karena efek kejang-kejang sebelum tak sadarkan diri. Hingga pada akhirnya, saat para dokter yang kami datangi sudah tak bisa memberi banyak perubahan, Mami dan Papi memutuskan untuk membawaku pergi berobat ke pulau Jawa, berharap kemajuan ilmu kedokteran kota terbesar kedua di Indonesia—Surabaya, bisa jauh lebih membantu.

"Mami, Papi," panggilku saat kami berada di sebuah tempat praktek seorang dokter.

"Iya, kenapa, Ensa?" tanya Mami lembut, mengusap kedua pipiku.

"Ada yang sakit?" Papi menambahkan.

Aku mengacuhkan pertanyaan Papi karena ada hal yang lebih penting yang hendak aku tanyakan. "Galeri Papi sama tokonya Mami, gimana?" tanyaku kepada mereka berdua.

Papi dan Mami saling bertukar pandang.

"Galeri sama tokonya lagi istirahat sebentar," jawab Papi dengan nada menenangkan.

Jawaban tersebut sontak membuatku mengernyitkan dahi. Ada kesedihan yang tampak tersirat pada mimik wajah keduanya. Entah bagaimana menjelaskannya, yang jelas aku tahu jika sesuatu yang buruk kembali terjadi.

"Gara-gara aku sakit, ya?" Aku tak bisa membendung emosiku, kemudian kuluapkan semuanya begitu saja dengan cara menangis.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 36 of VISIBLE 1?

Bagaimana tanggapan kalian mengenai chapter kali ini? Walau tidak ada cerita hantunya, tetapi chapter ini memberi pengaruh yang besar bagi chapter yang lain loh. Aku harap para pembacaku bisa melihat kisah-kisahku dari banyak sisi, tidak harus melulu tentang hantu ya. Semoga kalian bisa menikmatinya!

Oh, iya... ada kejutan dari novel keduaku, IMPRINT, sekarang sudah di-update! Bagi kalian yang suka dengan genre: Fantasy - Romance, bisa langsung cek di bagian work ya.

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang