17. PILIHAN

723 27 9
                                    

"Berbuat baik itu pilihan dan pilihan itu selalu beresiko. Namun, begitu pula dengan hidup."

Denpasar, 2003.

Meski pengalaman yang menyangkut dengan Tante Rosaline tak mengenakan, tetapi aku kembali mendapatkan sebuah pelajaran berharga yang tak terdapat di dalam buku. Pada "prakteknya", tak semua kejadian yang serupa bisa menggunakan rumus atau metode yang sama. Dan ya, sepertinya kita membutuhkan alam untuk sekadar rehat dari "kekacauan dunia" yang terkadang tak bisa kita hindari.

Entah mengapa aku selalu merasa seperti telah diisi ulang atau diperbarui kala dipertemukan dengan alam. Hanya sekadar melihat awan yang bergerak di langit atau dedaunan yang berguncang karena hembusan angin; atau merasakan hangatnya sinar matahari atau menghirup udara pagi itu sudah cukup untukku. Bagiku, alam itu seperti sebuah sistem penyeimbang. Aku tak tahu bagaimana dengan kalian, tetapi setiap kali ada kejadian buruk aku selalu merasa ada energi negatif yang ikut menempel dan aku membutuhkan alam untuk "melunturkannya".

Kurang lebih aku jadi bisa memahami mengapa Papi memiliki hobi memancing. Baginya, memancing itu mirip seperti meditasi sekaligus tes untuk melatih kesabaran. Ia mengatakan bahwa sungai, rawa, danau atau laut bisa membawa ketenangan dan kedamaian, membuat hati merasa tentram dan pikiran menjadi jernih. Saat kedua hal tersebut terjadi kita akan menjadi lebih mudah dalam mengatasi masalah kehidupan. Namun, aku percaya bahwa kita semua memiliki cara masing-masing untuk meringankan hidup, bukan?

"Apa kamu mau kasih ikannya ke Mami?" goda Papi sambil kembali memasang umpan.

"Aku cuma ingin mereka dipelihara di rumah saja kok," jawabku, kemudian memajukan bibirku.

Papi tertawa. "Nanti kalau dapat yang besar ya."

Aku mengangguk.

Tiba-tiba Om Umpan Lumut berdiri, terlihat bersemangat menggulung senar pancingnya. Sementara itu, teman yang ada di sampingnya menyemangatinya dengan menepuk-nepuk bahunya sambil tertawa riang.

Saat kailnya sudah mulai naik ke atas permukaan air, aku melihat seekor ikan berwarna hitam yang berukuran lebih besar daripada telapak tangan orang dewasa. Wah, keren, batinku. Namun, sesaat kemudian aku terkejut bukan main karena mendengar keduanya justru mengumpat.

Setelah melepaskan mata kail, bukannya memasukkan ikan tersebut ke dalam keranjang ikan, ia justru melemparkan ikan tersebut ke jalan—tempat kendaraan lalu-lalang. Aku refleks mengenakan sarung tangan dengan cepat, kemudian berlari untuk mengambil ikan tersebut sebelum ada yang melindasnya.

Awalnya kupikir itu adalah seekor ikan lele. Setelah kudekati ternyata itu adalah seekor ikan sapu-sapu. Kulit ikan tersebut sangat tebal dan keras, tetapi sayangnya tak cukup untuk melindungi dirinya dari kerasnya kehidupan. Terdengar klise sekali ya, tetapi itu memang benar adanya.

"Mau kamu apakan?" tanya si Om Umpan Lumut, sementara temannya hanya melirikku sekilas kemudian kembali berkonsentrasi pada alat pancingnya.

Eh? Apa aku salah mengira? "Apa Om masih mau ikan ini?" Aku mengulurkan ikan tersebut kepadanya.

Om Umpan Lumut berdecak sambil menyipitkan matanya padaku. "Ikan itu memang sengaja saya buang," katanya sambil memasang kembali umpan lumut pada kail.

"Kalau begitu untuk saya saja ya, Om," pintaku.

"Buat main? Jangan. Nanti ikannya lepas lagi ke sungai."

Oh, jadi, memang sengaja dibiarkan mati ya, batinku.

"Kekacauan dunia" rupanya kembali terjadi. Pantas saja Papi lebih suka memancing sendiri—jauh dari orang, bahkan sebenarnya juga jauh dariku karena terkadang aku bisa menjadi orang yang mengguncang dunianya.

Aku menghela napas sambil berusaha berpikir keras. "Bukan buat main kok, Om. Ini mau saya bawa pulang untuk dipelihara di kolam yang ada di rumah." Diam-diam aku merasa senang karena disaat-saat seperti ini aku bisa memperoleh keuntungan menjadi anak kecil.

Om Umpan Lumut tersebut terdiam sejenak.

Di antara jeda tersebut, tiba-tiba aku mendapatkan sebuah vision mengenai beberapa anak dari orang-orang yang mirip seperti Om Umpan Lumut. Anak-anak tersebut terlihat melakukan hal yang sama—membuang ikan sapu-sapu ke jalan seperti ayah mereka. Mirisnya lagi, mereka melakukannya tanpa beban, tanpa rasa bersalah, mata yang dingin dan uhm... sambil turut mengumpat.

"Ya, sudah," putus Om Umpan Lumut, membuat diriku tersadar.

Om Umpan Lumut kembali melempar kail pancingnya, dan sedetik kemudian jantungku terasa hampir melompat keluar karena mendengar Papi berteriak menyebut namaku.

Aku langsung terburu-buru menghampiri Papi dengan panik. "Ada apa, Pi?"

"Astaga. Papi, kan, sudah bilang! Jangan berdiri di belakang orang yang lagi mancing! Nanti kalau kena kail gimana? Teman Papi, kan, telinganya robek gara-gara itu. Kamu jangan pernah meremehkan, Ensa."

"Ah, iya. Maaf, Pi," kataku, kemudian memasukkan teman baruku ke dalam keranjang ikan milik kami.

"Apa itu?" tanya Papi penasaran.

Aku memperlihatkan isi keranjang ikan tersebut kepadanya. "Ikan sapu-sapu."

Papi memandangi ikan tersebut dengan saksama. "Mau kamu bawa pulang?"

Aku pun membalasnya dengan senyuman.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 17 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang