16. HANTU DI KEHIDUPAN NYATA

1.6K 90 14
                                    

"Terkadang situasi bisa mendesak 'benar' dan 'salah' agar terlihat rancu."

Kuta, 1999.

Jeda antara pulang sekolah dan menunggu jemputan adalah salah satu kesempatan di mana aku bisa menghabiskan waktu di area bermain. Di sana ada berbagai macam wahana yang terbilang cukup lengkap. Ada papan jungkat-jungkit, ayunan, komedi putar, tiang gelantungan, perosotan, meniti tangga dan lain-lain. Namun, karena jumlah anak melebihi jumlah wahana yang disediakan, sering kali hanya anak-anak tercepatlah atau yang memiliki "backing" yang bisa memilih wahana yang ingin dimainkan. Dan itulah yang sedang berusaha kulakukan.

Aku mengintip dari ambang pintu lalu berlari ke arah ayunan kosong yang terdiri dari dua buah bangku yang diatur dalam posisi saling berhadap-hadapan. Aku menyebutnya sebagai ayunan ganda. Sebenarnya ini adalah momen yang ganjil, mengingat biasanya ada sekelompok anak perempuan yang mendominasi, enggan berbagi dengan anak yang lain. Beruntungnya hari ini mereka semua sudah dijemput lebih awal, sepertinya ada acara ulang tahun atau semacamnya. Beberapa wajah yang tak asing, aku tak begitu mengingat nama-namanya, sempat bermain ayunan bersamaku selama beberapa saat.

Ada beberapa faktor yang menjadikan ayunan sebagai wahana favoritku. Selain karena hembusan angin yang menyenangkan, tentu saja. Namun, secara garis besar, aku hanya meminimalkan "ancaman" yang bisa terjadi di antara sesama anak TK. Ah, ya... mungkin ini terdengar agak berlebihan, tetapi dengan adanya perubahan zaman, dunia anak-anak pun turut berubah, begitu juga dengan pemikiran kami.

Kebanyakan orang dewasa sering menganggap bahwa masalah mereka jauh lebih penting daripada masalah anak-anak. Contohnya saja: Bagi anak-anak, kehilangan teman bermain adalah suatu masalah; Bagi orang dewasa, mungkin itu tidaklah benar dan sangat sepele. Terkadang mereka masih tak menyadari bahwa porsi permasalahan pada setiap kehidupan berbeda. Maksudku, bila kehilangan teman bermain kami dianggap sepele, bagaimana dengan orang dewasa yang kehilangan partner kerja? Apa juga sepele? Tentu saja tidak jika kita mengaitkan hal tersebut dengan imbas. Namun, renungkan bagian intinya. Sama-sama kehilangan. Perasaan yang terasa sama. Aku harap banyak orang dewasa yang lebih concern terhadap masalah anak-anak, seremeh apapun itu, karena hal tersebut akan membentuk pola pikir kami di masa depan.

Next. Berbicara mengenai ancaman, aku lebih menyukai ayunan ganda karena aku tak perlu mendapatkan pasangan bermain yang berat badannya jauh melebihiku atau sebaliknya, membuat papan jungkat-jungkit diam di tempat dan menanti salah satu dari kami akhirnya mengalah dan pergi; atau yang terlalu bersemangat, membuat papan jungkat-jungkit menampar keras bokongku lalu aku pun harus berteriak untuk memintanya berhenti, tetapi mendapati pasangan bermainku hanya tertawa dan melanjutkan permainan hingga akhirnya aku menangis. Bagian menariknya, ia justru terkejut dan bertanya-tanya mengapa aku melewati bagian yang mengasyikkan. Aku pernah mendapatkan satu, membuat bokongku sakit selama dua hari dan itu sudah cukup. Aku tak perlu mendapatkan tendangan bokong dari pemain tiang gantungan yang mungkin membayangkan bahwa ia sedang bergelantungan pada akar pohon amazon. Aku juga tak perlu mendapatkan tendangan kepala dan bahu dari pemain perosotan di belakangku karena persediaan kesabarannya sangat terbatas. Nah, itu dia.

Terkadang aku ingin berteriak: Tak bisakah kalian bersabar dan menunggu? Oke. Aku mungkin akan dinilai sebagai sosok yang kurang menyenangkan atau memang sama sekali tak menyenangkan. Namun, beberapa hal semacam itu membuat aku menyadari bahwa terkadang demi kebahagiaan diri sendiri, orang-orang cenderung menyampingkan kebahagiaan dan hak orang lain. But, we are just kids, right? Ataukah orang dewasa juga sama saja?

Ah, ya, parahnya... beberapa waktu lalu juga ada seorang anak laki-laki yang sangat meresahkan area bermain ini. Namanya Made Agra. Kami satu angkatan, tetapi berbeda kelas. Entah mengapa, ia suka menurunkan celana atau menaikkan rok anak-anak yang sedang asyik bermain dan menganggap kejahilannya sebagai sesuatu yang keren.

Banyak anak-anak yang menangis akibat perbuatannya, termasuk aku-lebih tepatnya aku adalah korban terakhirnya. Itu seharusnya menjadi salah satu kesalahan terbesar masa kecilnya karena hari itu juga ia harus berhadapan dengan Mami, Suster Kepala Sekolah dan kedua orang tuanya. Tambahan: ia langsung menjadi topik pembicaraan yang heboh di sekolah. Setelah diceramahi habis-habisan, akhirnya Agra menangis, meminta maaf dan berjanji takkan mengulangi perbuatannya lagi. Keesokan harinya, entah ada angin apa, tiba-tiba ia menjadikan dirinya sebagai orang pertama yang menyatakan cinta kepadaku.

"Mau nggak jadi pacarku?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengernyitkan dahi.

"Kenapa? Bukannya kemarin aku sudah minta maaf. Kamu sudah maafin aku, kan? Aku janji kok nggak bakal kaya gitu lagi," katanya malu-malu, sementara aku sama sekali tak mengerti di mana letak benang merah dalam percakapan ini.

"Apa itu pacar?" tanyaku pada akhirnya.

Ia menatapku seakan tak percaya. "Apa kamu nggak pernah melihat TV atau melihat apa yang dilakukan kakakmu?"

Aku hanya terdiam, berusaha mencerna. Mami hampir selalu mengontrol program TV ku. Kebanyakan yang kutonton adalah sinema anak-anak seperti kartun atau acara musik yang menampilkan lagu dari penyanyi cilik: Joshua, Sherina, Trio Kwek-kwek dan lain-lain. Aku bahkan tak tahu apa rasanya memiliki kakak!

"Pacar itu artinya dua orang yang saling sayang terus bisa bergandengan tangan," jelasnya, kembali tersenyum, tetapi kali ini ada tambahan uluran tangan.

Aku langsung bergidik dan memundurkan tubuhku. Menjijikan! Lagipula, hampir semua anak di sekolah kami benci padanya. "Aku nggak mau. Kamu itu menyebalkan," ungkapku jujur sambil mendelik. Aku tak tahu bagaimana bersikap yang benar saat terjebak di situasi seperti ini. Dan entah bagaimana, aku juga didukung dengan memiliki mulut yang tajam.

"Nanti kita bisa jadi Cinderella sama Pangeran. Memangnya kamu nggak mau jadi Cinderella?" tanya Agra yang ternyata merupakan tipe manusia yang pantang menyerah.

Entah kebetulan saja atau ia sudah mencari tahu, aku memang suka pada tokoh Cinderella. Tahun ini Mami dan Papi bahkan memesankan buku cerita khusus yang mengubah nama Cinderella menjadi namaku sebagai kado ulang tahun. "Aku mau jadi Cinderella, tapi nggak mau Pangeran yang kaya kamu."

"Terus maunya Pangeran yang kaya apa?"

Aku terdiam. Aku sama sekali tak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya. Aku tak pernah memikirkan pangeran atau anak laki-laki manapun, tetapi aku menemukan sebuah gambaran kecil, gambaran yang dekat dengan hatiku. "Ganteng dan baik kaya Rudi," jawabku pada akhirnya.

"Rudi? Anak kelas berapa?"

"Dia anjingku," jawabku dengan bangga.

Anak laki-laki itu sempat menampilkan ekspresi terkejut, tetapi kemudian anehnya, ia justru tertawa.

Sejak hari itu Agra selalu menjadi hantu "nyata" dalam kehidupan sekolahku. Aku selalu berusaha melarikan diri darinya, termasuk dengan cara tak pernah menghentikan ayunan atau komedi putar saat ia berusaha mendekat ke arahku. Jika perlu, aku akan menendang bokongnya!

»©»©»©»

Just wanna make a little survey. Pertanyaan iseng, kapan pertama kali kalian ditembak atau menembak? DOR! Hahaha... Tulis di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©

Did you enjoy chapter 16 of VISIBLE 1?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang