39. SALJU

1.2K 30 6
                                    

"Putih, dingin dan tak bernyawa."

Surabaya, 29 Maret 2001.

Setibanya di rumah Nenek, keluarga besar Mami sudah berkumpul semua. Aku merasa senang karena momen seperti ini biasanya hanya terjadi pada saat-saat tertentu saja. Maklumlah, banyak sekali anggota keluarga kami yang tinggal di kota yang berbeda. Namun setelah kuamati baik-baik, rupanya rumah Nenek juga dipenuhi dengan para tetangga dan orang-orang yang tak kukenal. Ada acara apa sih sebenarnya?

Sementara Mami berusaha menerobos masuk ke dalam, berdesak-desakkan dengan orang, aku dan Papi memilih menunggu di luar rumah. Tak lama kemudian, banyak sekali bapak-bapak yang bergabung dengan kami, mengajak Papi berbicara. Karena merasa bosan, akhirnya aku mulai memperhatikan sekeliling dan mendapati kedua sepupuku, Dirra dan Ranny, melambaikan tangan dari balik pagar rumah.

Mataku membulat, merasa senang menemukan teman bermain. Namun, saat aku hendak berjalan mendekati mereka, aku mendengar suara isak tangis pecah dari arah ruang tamu. Hal itu refleks membuatku berlari mendekat, menjulurkan kepala untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Ruang tamu tersebut seperti selubung duka. Hampir semua orang menangis, saling bersalaman, berpelukkan, menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Hawanya terasa sangat tak enak—suram, seakan-akan semua perasaan orang yang berada di dalam satu ruangan tersebut tumpah ruah.

"Ada apa sih?" tanyaku penasaran.

"Nggak tahu. Kata Mama, itu urusan orang dewasa," sahut Dirra yang ternyata mengikutiku bersama Ranny.

"Gimana kalau kita main petak umpet aja?" saran Ranny.

Kami berdua yang mendengarnya langsung menyambutnya dengan anggukan penuh semangat.

Setelah Ranny mulai berhitung, aku dan Dirra mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk dijadikan tempat persembunyian. Sementara Dirra sudah menghilang ke dalam pintu samping, aku berusaha melesakkan tubuhku di antara para tamu yang sedang berkumpul di ruang tamu untuk menuju ke kamar belakang.

Tubuhku refleks terpaku saat melihat Kakek sedang tertidur di atas benda yang tampak seperti sebuah... meja (?). Saat Mami, Nenek dan para tante sibuk menyalami beberapa tamu yang baru tiba, aku segera mengambil kesempatan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Kakek.

Di antara para cucu bisa dibilang aku adalah cucu yang paling dekat dengan Kakek. Sejak aku kecil, Kakek senang sekali bercerita sambil memijat kakiku walau hanya menggunakan satu tangan. Kata Mami, tangan Kakek yang satu lagi patah karena terjatuh saat melewati jalan menurun. Namun menurutku, itu kurang tepat.

Saat Mami bercerita mengenai hal tersebut, sebenarnya aku mendapat gambaran mengenai bagaimana peristiwa beberapa waktu lalu itu terjadi. Seperti sebuah film yang spontan terputar di dalam kepalaku, aku tak hanya melihat Kakek, tetapi juga melihat Dirra bersama sesuatu yang lain. Dan faktanya, Kakek sama sekali tak terjatuh, tetapi ia sengaja dijatuhkan.

Salah satu kebiasaan kecil lainnya, setiap tahun Kakek selalu meminta foto terbaruku dan berjanji akan memajangnya di ruang tamu. Karena teringat akan hal tersebut aku pun mengedarkan pandangan ke arah dinding di mana foto-fotoku terpajang. Aku tersenyum karena tahu Kakek pasti sudah bersusah payah memenangkan perdebatan melawan Nenek.

Gambaran percakapan mereka pun tampak sekilas...

"Fotone Ensa iku wes akeh," eluh Nenekku saat membersihkan bingkai foto. "Didekek nang mburi ae loh ben nggak ngebek-ngebeki. Sumpek nek onok nang kene kabeh," tambahnya sambil melirik Kakek.

*Fotonya Ensa itu sudah banyak.

** Di letakkan di belakang saja biar tidak penuh. Sesak kalau ada di sini semua.

"Bah," balas Kakek dengan cueknya, melanjutkan kegiatan membaca koran.

*Biarin.

"Wong iki loh nek dikandani angel."

*Orang ini kalau diberitahu susah.

"Ssssttt... Meneng," sahut Kakek sambil membalik halaman korannya.

*Ssssttt... Diam.

Saat gambaran tersebut memudar, aku kembali tersenyum.

Nenekku itu kuno. Ia masih menganut anggapan di mana anak laki-laki jauh lebih baik (mendatangkan keberuntungan) daripada anak perempuan. Sementara menurut Kakek, aku ini cucu yang istimewa karena lahir dari anaknya yang paling bungsu... dan ada semacam histori.

"Kakek kok tidur di sini?" tanyaku bingung.

Kakek yang tampak sangat pucat tak menjawab pertanyaanku.

Senyenyak itukah? Aku memperhatikan bola-bola kapas yang tampak menyumbat kedua lubang telinga dan hidungnya. Kalau ditutup begini, bagaimana caranya Kakek bisa bernapas? Aku mengulurkan tanganku, hendak mengambil bola-bola kapas tersebut.

"Coba pegang deh, nanti Kakek pasti bangun!" seru Rangga, sepupuku yang sedang berjalan melewatiku, membuatku kaget.

"Hush! Jangan ngajarin yang aneh-aneh!" sahut Ranny, adik perempuan Rangga, yang entah sejak kapan sudah berada di belakangku. "Dor! Kena," sambungnya cepat, disusul dengan gerakan menepuk bahuku.

Aku mengabaikan perkataannya. "Memangnya Kakek kenapa? Kok nggak bangun?" tanyaku kemudian, merasa bingung karena ada orang yang bisa tidur nyenyak di tengah-tengah suasana ramai seperti ini.

"Kakek lagi tidur panjang kayak Snow White," jawab Dava, sepupuku yang lain sekaligus cucu kesayangan Nenek.

Lalu kita semua yang sedang berdiri di sampingnya apa? Kurcaci? Dava memang konyol, batinku dalam hati. Namun, kalau kuperhatikan baik-baik wajah Kakek memang seputih salju. Mungkinkah Kakek benar-benar akan tidur panjang?

"Astaga, anak kecil, jangan di sini! Sana main di depan saja!" bentak Tante Ratih, membuat aku dan Ranny terkejut, sementara Rangga dan Dava sudah kabur.

"Maaf, Tante," jawab aku dan Ranny secara bersamaan. Lalu kami berdua akhirnya memutuskan bermain di luar, lupa dengan Dirra yang masih bersembunyi di dalam.

»©»©»©»

Dulu... saat pertama kali mendengar kata "meninggal", apa yang terpikirkan oleh kalian? Coba tulis di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful© Kalau aku mikirnya semacam hibernasi, jadi nanti bakal balik lagi. Huhuhu...

Did you enjoy chapter 39 of VISIBLE 1?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang