3. JINGGA

1.1K 25 5
                                    

Jangan lupa VOTE yah! 😘

"Setiap orang memiliki hak untuk mempercayai apa yang mereka percaya. Jadi, aku tak pernah mau memaksa."

Denpasar, Oktober 2002.

Aku mengusap kedua kelopak mataku, terbangun dari tidur karena ingin buang air kecil. Dalam kondisi mata yang masih setengah terpejam, aku melangkahkan kaki ke luar kamar, tanpa sadar berjalan memasuki kamar orang tuaku, padahal sebenarnya letak kamar mandi justru berada di samping kamarku. Sepertinya aku masih belum terbiasa dengan rumah yang baru.

"Ensa, kenapa?" tanya Mami yang terbangun dari tidurnya, sementara Papi masih tertidur lelap di sisinya.

"Mau pipis," jawabku singkat. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mata.

"Ayo, ke kamar mandi," ajak Mami, hendak membalikkan tubuhku.

Duaaarrr!

Tiba-tiba terdengar suara letusan yang mirip seperti petasan, disusul dengan kobaran api berbentuk bola yang muncul dari balik jendela kamar orang tuaku. Mataku terbelalak, langsung mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Aku tak mungkin salah melihat karena buktinya bola api tersebut masih membara, melayang-layang tak jelas, membuat kamar orang tuaku diterangi cahaya berwarna jingga.

*NB: Aku pernah membaca mengenai semacam kepercayaan masyarakat lama bahwa kemunculan hantu bola api yang biasa disebut dengan Kemamang (Mungkin di daerah lain akan disebut berbeda) tersebut merupakan salah satu pertanda jika akan terjadi musibah atau malapetaka dalam waktu dekat.

"Ya, ampun, sudah siang! Astaga, Ensa, kita terlambat ke sekolah. Ayo, cepat ganti baju sana!" seru Mami panik, menyingkirkan selimut yang sedari tadi masih menutupi kedua kakinya.

Aku justru terperangah dan terpaku, tak mengerti dengan Mami yang sama sekali tak terkejut mendengar suara letusan tersebut dan justru mengira si bola api sebagai sinar matahari. Kok bisa???

"Ini jam berapa sih?" Mami bangkit berdiri, mengambil handphone kemudian menyalakannya. "Loh kok masih jam... "

Duaaarrr!

Suara letusan kedua terdengar lebih keras daripada sebelumnya. Lalu tiba-tiba bola api tersebut memercikkan api yang tampak meleleh sebelum akhirnya benar-benar menghilang tanpa jejak. Di waktu yang sama, langit kembali berubah menjadi gelap, tak ada satu pun cahaya yang terlihat dari balik jendela, menunjukkan bahwa memang benar ini masih malam hari.

Mami menatap ke arah jendela kemudian ke arahku. "Kamu lihat, nggak?" tanyanya seolah masih sedang memproses hal yang baru saja terjadi.

Aku mengangguk perlahan, tetapi diam-diam hatiku merasa senang. Akhirnya. Ya, akhirnya. Mami bisa melihat apa yang selama ini aku lihat. Saat itu aku merasa tak sendiri, normal, tak berbeda. Dan itu artinya selama ini aku tak berfantasi atau berkhayal. Mereka memang benar-benar ada. Ada bersama kita. Di lingkungan kita. Namun, sepertinya menggunakan dimensi yang berbeda.

Wajah Mami terlihat pucat pasi saat mendengar jawabanku. Ia segera melompat ke atas tempat tidur, mengguncang-guncang tubuh Papi. "Pi, Pi! Bangun!" serunya.

"Ada apa?" tanya Papi panik, refleks duduk tegak lurus.

"Sekarang masih jam dua pagi, Pi! Masa tadi di luar langitnya terang terus tiba-tiba jadi gelap," jelas Mami dengan cepat.

"Kamu mimpi kali," tuduh Papi.

"Nggak kok. Aku pikir tadi kita kesiangan ke sekolah. Jadi, aku nyuruh Ensa cepat-cepat buat ganti pakaian terus tiba-tiba langitnya justru jadi gelap," jelas Mami dengan nada dua kali lebih tinggi daripada sebelumnya.

"Ini, kan, masih malam. Mana mungkin langitnya terang? Kalian ngelindur kali," balas Papi yang masih tak mempercayai hal-hal gaib.

"Ngelindur apanya? Masa ngelindur-nya bisa berdua!" sembur Mami kesal.

"Sudah-sudah. Sebaiknya kalian tidur lagi saja," saran Papi, hendak kembali tidur.

Saat itu juga aku menyadari bahwa ini takkan pernah menjadi mudah. Akan ada perjalanan panjang untuk sekadar meyakinkan orang tuaku sendiri, apalagi orang lain. Namun kemudian, aku menyadari bahwa aku tak perlu meyakinkan siapapun. Perasaan saat dipercaya memang terasa menyenangkan dan melegakan, tetapi aku tak bisa memaksakannya. Yang harus kulakukan hanyalah membiarkan waktu bekerja apa adanya dan selama itu semua orang bebas memilih apa yang mereka percaya, termasuk kedua orang tuaku.

"Sini, Ensa! Naik sini." Mami menepuk tempat tidur yang paling pinggir, kemudian menarik selimut.

Aku menggeleng. "Papi, aku mau pipis," kataku, sengaja menyebut "Papi" karena aku yakin Mami takkan berani mengantarkan aku ke kamar mandi.

"Ya, ampun!" eluh Papi sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian beranjak turun dari tempat tidur dan menuntunku ke kamar mandi.

"Mami ikut!" seru Mami, mengekor di belakang aku dan Papi.

"Ngapain?" tanya aku dan Papi secara bersamaan.

"Takut," jawab Mami malu-malu.

"Astagaaaaa..." eluh Papi untuk yang kedua kali, membuat Mami tak bisa menahan kekehan.

Sepertinya waktu mulai bekerja.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 3 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang