"Menurutku, sihir tak hanya ada di negeri dongeng, tetapi juga di dunia nyata."
Denpasar, 1997.
"Jangan takut! Nggak apa-apa kok." Aku berusaha menenangkan seorang anak perempuan yang suara tangisannya terdengar paling keras, membuat ibunya nyaris kewalahan.
Ibu tersebut menggendong anaknya lalu menunjuk ke arahku. "Tuh, dia saja yang berdiri di depan bilang nggak apa-apa. Jangan nangis. Malu dilihat orang."
Tangisan anak perempuan tersebut mereda, tetapi tetap tak berhenti. Bahunya bergerak naik turun karena sesenggukkan.
"Sini nonton bareng," ajakku, melambaikan tangan kepadanya. Kupikir, jika kami menonton bersama, sesama anak kecil, maka ia akan merasa lebih nyaman.
"Iya. Yuk, sini nonton bareng," tambah Papi, ikut melambaikan tangan.
Anak perempuan tersebut menggeleng, membalikkan tubuh, merangkul kedua bahu ibunya dengan erat. Melihat anaknya tak berminat, ibu tersebut menundukkan kepala lalu mengucapkan terima kasih tanpa suara. Aku dan Papi balas tersenyum maklum, kemudian kami saling bertukar pandang.
Apakah ada sesuatu yang salah padaku? Apa seharusnya aku juga menangis? Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat berkelebat dalam benakku.
"Anak Papi memang pemberani," puji Papi.
Aku menggeleng. "Sebenarnya tadi aku sempat takut, tapi sekarang sudah nggak," ungkapku jujur.
"Iya, ngapain takut, kan, ada Papi," kata Papi sambil nyengir.
Aku mengangguk lalu menyempatkan diri untuk melihat ke arah Mami. Mami tersenyum sambil mengarahkan kedua ibu jarinya kepadaku. Aku balas tersenyum, melambaikan tangan dengan penuh semangat kepadanya.
Suara tangis si anak perempuan tiba-tiba terdengar kembali. Mami bergerak melewati beberapa orang hingga akhirnya tiba di hadapan ibu dan anak tersebut. Mami mengeluarkan sebuah permen, lolipop kesukaanku, dari dalam tas hitamnya lalu memberikannya kepada si anak perempuan. Anak perempuan itu menggenggam permen tersebut dan akhirnya berhenti menangis.
Perhatianku beralih kepada Pemangku yang sedang berjalan menuju ke arah kami. Pemangku tersebut mengangguk dan tersenyum sebagai bentuk sapaan. Di atas salah satu telapak tangannya terdapat benda yang bentuknya mirip seperti sebuah mangkok, entah apa namanya—yang jelas, benda tersebut mengeluarkan asap yang beraroma sangat khas dan harum.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Papi kepada Pemangku sambil melirikku sekilas, memberikan semacam kode.
Tiba-tiba Pemangku menatap ke arah puncak kepala kami. "Tidak apa-apa, Pak. Tenang saja," katanya, kemudian tersenyum.
Secara refleks, aku menengadah, mencoba mencari tahu apa yang sedang ditatap olehnya dan apa yang membuat dirinya tersenyum. Pada saat itu juga aku baru menyadari bahwa ada sebuah shield alias pelindung. Pelindung tersebut tampak seperti selaput telur yang membungkus aku dan Papi, memisahkan kami dari dunia luar. Saat menyentuhnya, pelindung tersebut terasa sejuk, nyaman dan menenangkan. Aku tak tahu sudah sejak kapan pelindung tersebut berada di sana.
"Papi, awan," aku memberitahu Papi sambil berbisik.
"Ah, iya. Awannya bagus, ya," balas Papi, menatap langit sekilas.
Oke. Aku sadar bahwa awan bukanlah kata yang tepat. Masalahnya, bentuk keduanya memang mirip dan aku tak tahu harus menyebutnya sebagai apa. "Bukan awan, tapi asap berwarna putih," ralatku kemudian.
"Iya, iya." Papi hanya sekadar menepuk-nepuk punggungku. Ia sudah fokus memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Pemangku.
Aku menghela napas panjang. Dalam sekejap, aku merasa menjadi anak kecil adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan. Aku merasa terperangkap dalam tubuh ini. Dan aku tak tahu mengapa aku berpikir demikian.
Pemangku mendekatkan diri kepada seorang pria yang berdiri tepat di sebelah kanan kami. Tiba-tiba pria tersebut berteriak-teriak seakan kehilangan kendali. Beberapa orang mengarahkan ia agar menuju ke bagian tengah area, bergabung dengan yang lain. Asap dari mangkok itu, batinku, sok tahu.
"Kamu juga kaget, ya?" tanya Papi. Ekspresi wajahnya terlihat begitu takjub.
"Ya." Aku tersenyum sekaligus meringis. Suara teriakan pria tersebut membuat telingaku berdengung.
Mendekati penghujung acara, hari sudah sangat sore, matahari nyaris terbenam. Pemangku memercikkan air suci kepada orang-orang yang "terpilih" dan aku menamakan itu sebagai bagian percik ajaib. Seperti api yang dipadamkan oleh air, tubuh mereka tampak mengeluarkan asap. Orang-orang yang "terpilih" tampak linglung seakan baru memperoleh kesadarannya kembali. Sementara itu, asap-asap tersebut mulai membubung tinggi menuju langit, melesat ke berbagai arah lalu menghilang. Menakjubkan sekali! Ini benar-benar sebuah pertunjukan yang luar biasa.
Tapi kenapa hanya aku yang bertepuk tangan ya? tanyaku dalam hati sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kamu ngapain?" Papi tersenyum sekaligus menatapku bingung.
"Nggak ngapa-ngapain," jawabku cepat, tak tahu harus menjelaskan bagaimana.
Aku sadar bahwa usiaku memang masih sangat muda. Aku belum memahami banyak hal, tak benar-benar mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Namun, di balik itu semua, aku berusaha untuk memahami, mengingat dan memperhatikannya secara saksama.
*NB: Terima kasih karena sudah mengundang kami.
»©»©»©»
Dari semua yang pernah kalian lihat atau ketahui, menurut kalian, tradisi manakah yang paling menarik di Indonesia? Tulis pendapat kalian di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 2 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!