"Aku akan mulai berhitung, kau akan mulai bersembunyi. Aku akan segera mencari, kau akan segera berlari"
Lumajang, 2003.
Saat kami tiba di gang rumah Ranny, kami harus melalui sebuah TK yang dilengkapi dengan berbagai wahana bermain. Aku tak merasa asing dengan TK tersebut karena sekolah itu merupakan tempat Ranny menuntut ilmu pada saat ia masih kecil.
Dulu aku pernah menjemput Ranny pulang sekolah dan ia mengajakku untuk bermain bersama dua orang temannya. Saat itu kondisi TK cukup sepi, hanya tinggal kami berempat dan dua orang anak laki-laki. Aku, Ranny, Dahlia dan Ira bermain ayunan, perosotan, jungkat-jungkit dan lain sebagainya. Rasanya sangat menyenangkan walau sebenarnya aku tak begitu memahami apa yang mereka bicarakan karena mereka menggunakan bahasa Jawa. Namun, saat sedang asyik-asyiknya bermain aku merasakan ada sesuatu yang aneh.
Berulang kali aku ingin melirik ke bagian sudut bangunan, entah mengapa. Setelah hal tersebut terjadi, aku mendengar gelak tawa seorang anak perempuan yang begitu nyaring dan sedikit bergema.
"Apa kalian melihat ada anak perempuan yang lain?" tanyaku kepada Ranny dan teman-temannya. Jika memang benar ada, aku berniat mengajak anak perempuan tersebut untuk bergabung bersama dengan kami. Namun, ternyata...
"Di sini, kan, anak perempuannya hanya tinggal kita," jawab Dahlia.
"Aku tahu. Tapi tadi sepertinya aku mendengar suara anak perempuan di sekitar sini." Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Tawa anak perempuan," ralatku, berusaha untuk lebih menjelaskan.
"Aku nggak mendengar apa-apa tuh," sahut Ira. "Apa kalian mendengar suara tawa?" tanyanya kepada Dahlia dan Ranny.
Dahlia menggeleng, begitu juga dengan Ranny.
"Mungkin kamu salah dengar kali atau bisa saja itu hanya suara anak perempuan yang lagi lewat di jalan," kata Ranny dengan bijaksana.
"Iya, bisa jadi sih," komentar Ira.
Saat aku hendak mengungkapkan pendapatku tampak sebuah asap yang berbentuk seperti selembar kain yang melayang-layang dan menghilang dalam sekejap di dekat sudut bangunan TK.
Ah, sepertinya hantu, batinku.
Aku berusaha mengacuhkannya lalu kami pun kembali meneruskan permainan.
Lama-kelamaan karena merasa bosan memainkan wahana yang ada di TK tersebut, kami memutuskan untuk bermain petak umpat. Setelah melakukan hopimpah dan suit untuk memutuskan siapa yang menjadi penjaga, akhirnya terpilihlah Dahlia, sementara sisanya akan bersembunyi.
"Aku mulai hitung dari satu sampai sepuluh ya. Kalian sembunyinya jangan jauh-jauh. Di sini-sini saja," kata Dahlia mengingatkan, kemudian ia menutup matanya dengan kedua tangan sambil menghadap ke arah sebuah tembok yang ada di sepanjang gang tepat di seberang pagar besi TK.
"Oke," balas kami semua.
"Satu, dua, tiga, empat..." Dahlia mulai menghitung.
Sementara Ira sudah menemukan tempat persembunyian di belakang salah satu tanaman rumah warga, Ranny pun sudah bersembunyi di balik batu semen yang ada di bawah tiang listrik. Aku yang bukan merupakan warga sana merasa bingung harus bersembunyi di mana. Aku terdiam dan memandang sekeliling, sementara hitungan Dahlia sudah mulai semakin mendekati angka sepuluh.
"Enam, tujuh..."
Satu-satunya tempat yang kuketahui hanyalah bagian sudut bangunan. Dengan terburu-buru, aku mulai melangkahkan kakiku menuju tempat tersebut. Saat hanya tinggal tiga langkah, tiba-tiba aku melihat ada dua buah tangan yang muncul memegang bagian sudut bangunan tersebut. Selang satu detik kemudian, ada rambut, dahi dan dua buah mata yang terlihat secara perlahan. Jantungku berdebar sangat kencang, tetapi kakiku tetap melangkah maju. Saat jarak kami sudah semakin dekat, anak perempuan tersebut berlari ke arah samping bangunan, menari sambil tertawa. Lama-kelamaan sosok tersebut menjadi transparan lalu menghilang bagai asap.
"Dor!!! Kena!!!" seru seseorang sambil menyentuh bahu kiriku, berhasil membuat aku terkejut bukan main.
Saat aku menoleh karena mengira bahwa Dahlia telah berhasil menemukanku ternyata aku salah. Tak ada siapa pun. Di depan bangunan TK itu hanya tinggal aku seorang dan angin yang tiba-tiba berhembus dengan kencang untuk sesaat. Aku baru menyadari apa yang tengah terjadi saat mendengar Dahlia meneriakkan kata, "SEPULUH," dengan keras lalu ia mulai bergerak mencari.
Aku refleks berjongkok dan bersembunyi di bagian samping bangunan. Kedua tanganku kugunakan untuk memeluk lutut, sementara kedua mataku terpejam rapat. "Kalau kamu berharap aku akan berlari, kamu akan kecewa. Jangan ganggu aku," kataku bak mantra.
Tak ada respon. Tak ada suara. Hanya ada aku.
Sejak saat itu aku selalu menghindari ajakkan Ranny untuk bermain di TK tersebut. Hanya aku dan kalian saja yang tahu alasan yang ada di baliknya. Aku tak ingin ada lagi "seseorang" yang "menyelinap" di antara kami. Menyebalkan sekali rasanya!
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 24 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HororBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!