"Sesuatu yang baru itu bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diamati lalu dipelajari."
Denpasar, 1998.
Grrr... Guk... Guk...
Mereka berdua kembali mengabaikanku dan lebih memilih menggigiti telinga satu sama lain. Eh? Mari ku perkenalkan kepada Max dan Rudi, dua ekor anjing lokal dewasa dari dua belas anjing yang kami miliki.
Max merupakan anjing Alpha sekaligus tertua di antara yang lain. Meskipun begitu, tubuhnya masih kencang—berotot seperti anjing muda. Ia memiliki bulu dan manik mata berwarna honey. Sementara Rudi, anjing Beta tertampan yang selalu mendampingi Max, merupakan tipe anjing yang bisa membuatmu jatuh hati dalam sekejap. Ia memiliki bulu berwarna latte dan manik mata berwarna serupa dengan milik Max. Dan yah, kalau aku boleh jujur, aku lebih suka bermain dengan Rudi yang manis daripada Max yang galak dan tak suka mandi.
"Ensa! Jangan main di situ!" seru Mami dari bagian tengah halaman belakang rumah.
Aku menolehkan wajah, tetapi enggan berdiri. Duduk tepat di depan kedua anjing tersebut adalah tempat terbaik untuk menonton. Rudi mengeluarkan suara pekikan sebagai bentuk omelan saat Max menggigit telinganya. Aku tertawa, memperhatikan tingkah laku lucu mereka.
"Sini! Mami sama Papi lagi petik buah alpukat. Kamu mau ikut, nggak?" tawar Papi, menunjuk sebuah pohon yang tak begitu jauh dari dirinya.
Karena kebanyakan pohon yang tumbuh di pekarangan rumah kami adalah jenis pohon buah-buahan, kegiatan memanen semacam ini hampir terjadi setiap satu atau dua minggu sekali. Pada awalnya memang terasa menyenangkan, tetapi untuk seorang anak kecil sepertiku, lama-lama itu menjadi agak membosankan.
Akhirnya aku memaksa tubuhku berdiri, berjalan menuju mereka walau dengan setengah menyeret langkah kaki dan bibir mengerucut—kebiasaan jelek saat aku sedang merajuk.
Tiba-tiba Papi mengangkat tubuh mungilku bak pesawat terbang yang sedang mengudara. Raut wajahku pun berubah ceria saat itu juga. Aku membentangkan kedua tangan lalu terkekeh saat lembutnya hembusan angin menerpa wajah. Adrenalinku terpacu saat melintasi bagian tepi kolam. Rasanya sangat seru! Kini kurang lebih aku tahu bagaimana rasanya menjadi pesawat terbang.
Baba, nama anjingku yang lain, menyalak-nyalak, menyiratkan bahwa ia ingin ikut bermain. Aku tertawa kecil mendengar suaranya yang menggemaskan. Namun, tawaku terhenti saat Papi menurunkan tubuhku tepat di bawah sebuah pohon alpukat. Secara otomatis, mataku mengerjap.
"Ensa, mau coba petik?" Papi berhasil menghilangkan kefokusanku selama sesaat.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha kembali fokus.
"Ada apa?"
Mari kita coba tes penglihatan Papi sekali lagi. Bukannya menjawab, aku justru menunjuk salah satu bagian cabang pohon.
Mata Papi bergerak mengikuti arah telunjukku. "Memang ada apa sih? Ada tupai?" Ternyata Papi masih tak mengerti walau aku sudah menunjuk letak keberadaan-"nya".
Sudah kuduga. Kali ini aku tak menghiraukan Papi karena aku berusaha memahami sesuatu yang berada di atas sana. Semakin lama memandang, semakin jelas aku bisa melihatnya. Posisinya terlihat aneh, tak masuk akal. Ia tak berdiri, tak duduk, tak juga merangkak—atau itu mungkin karena aku sama sekali tak melihat keberadaan tubuhnya? Hanya ada sebuah kepala dengan dagu nyaris menempel pada dahan pohon saja yang membuat ia terlihat "ada". Berbagai pertanyaan langsung bermunculan dalam benakku.
"Jangan bilang-bilang," perintah wanita itu dengan suara pelan, tetapi tajam, syarat makna.
Rambut hitam kelamnya berkibar saat angin kembali berhembus. Beberapa helai di antaranya menutupi wajahnya yang tampak terlalu pucat. Anehnya, ia sama sekali tak merasa terganggu. Dan tunggu, apakah itu sebuah taring? Aku menatap benda tajam berwarna putih mengkilat yang mencuat dari salah satu sudut bibirnya.
"Bu, banyak banget!" seru Mbak yang sedang berjongkok di samping Mami.
Seperti anak kecil pada umumnya, suatu perkara mudah mengalihkan perhatianku. Aku segera berlari mendekati Mbak, ingin mengetahui hal apa yang membuat ia tampak begitu bersemangat.
Baru seperempat jalan, aku menghentikan langkah, berbalik menghadap ke arah Papi yang sudah berada agak jauh dari posisiku. "Bukan apa-apa, Pi," ucapku pada akhirnya, menjawab pertanyaan Papi yang sebenarnya sudah terlontar beberapa saat lalu.
Awalnya Papi mengernyitkan dahi, tetapi akhirnya ia mengangguk sambil mengibaskan tangan.
Sementara itu, si Wanita "Bertaring", begitu aku menyebutnya, sudah menghilang. Meskipun demikian, aku masih bisa merasakan kehadirannya di sekitar sini. Aku sangat yakin bahwa kami akan bertemu kembali dalam waktu dekat. Dan untuk itu, aku harus segera menyiapkan diri.
»©»©»©»
Ada yang tahu tidak, apa nama jenis hantu dalam part ini? Tulis di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 5 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
TerrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!