37. SIRA DAN ANGEN

61 21 6
                                    

"Sesuai dengan namanya, pulau Siraangen yang kini disebut sebagai pulau Serangan telah membuat aku merasa 'sayang' dan 'kangen' akan hal-hal indah yang pernah terjadi di sana."

Denpasar, 2003.

Beberapa hari sebelum mengunjungi Nenek di Surabaya, aku dan kedua orang tuaku memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Kami pergi ke sebuah pulau bernama Serangan, yang masih termasuk dalam wilayah Denpasar Selatan. Dulu orang-orang harus menggunakan jukung atau sampan untuk menuju ke pulau tersebut. Namun, berkat kemajuan zaman, sekarang sudah ada sebuah jembatan penghubung yang memudahkan kami untuk tiba di sana. Kabarnya, pulau Serangan akan segera dijadikan sebagai kawasan ekowisata. Aku tak sabar menantikan hal tersebut terealisasi dan berharap agar semuanya bisa berjalan lancar serta membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar.

Walau ini bukan kali pertama kedatanganku, aku tak henti-hentinya merasa takjub saat melihat keindahan yang tersaji di depan mata. Setelah memasuki jembatan, angin berhembus cukup kencang hingga membuat jantungku berdebar-debar. Salah satu kebiasaanku saat tiba di tempat ini adalah membuka jendela kemudian mengeluarkan jemari agar bisa merasakan hembusan angin yang menggelitik sembari menghirup aroma khas angin laut.

Deretan pepohonan Bakau yang terletak di sisi kanan-kiri jalan bergemerisik seolah menyambut kami. Di sela akar-akar pepohonan terlihat beberapa kepiting dewasa bertubuh gemuk sedang mengacungkan capit-capitnya ke udara, sedangkan di bagian yang sedikit lebih dalam terlihat beberapa ikan sedang berusaha berenang menerjang air berlumpur. Waktu pertama kali melihat pemandangan menggoda tersebut kami bertiga langsung merasa gemas sekali, tetapi tak bisa berbuat apa-apa—hanya bisa mengabadikan momen tersebut di dalam benak.

Alunan suara merdu milik penyanyi Shania Twain selalu menemani kami saat kami berkunjung kemari. Ini adalah semacam tradisi keluarga kami. Aku, Mami dan Papi memiliki semacam perjanjian keluarga tak tertulis untuk bergiliran menyetel lagu-lagu kesukaan kami. Dan setiap kali datang ke pulau ini, Mami akan mendapat gilirannya.

Lagipula kami semua suka dengan Shania Twain! Selain orangnya terlihat sangat cantik dan menarik, lagu-lagunya bagus hingga Mami rela membeli versi kaset dan VCD, bahkan membuat baju yang serupa dengan gayanya! Ini merupakan hal yang sangat jarang terjadi.

Aku rasa di kemudian hari nanti, lagu-lagu Shania akan menjadi semacam nostalgia yang mengingatkan aku kepada pulau Serangan.

Aku ingat saat pertama kali berkunjung ke tempat ini. Di bagian ujung jembatan, ada seorang nenek yang duduk sambil menekuk lutut. Dari gayanya, awalnya kupikir Nenek tersebut merupakan tukang jamu gendong karena ia membawa sebuah bakul dan mengenakan kebaya. Namun, setelah kami bertanya langsung kepadanya ternyata ia sedang menjual sate penyu.

Suatu hari kami melihat secara langsung bahwa Nenek tersebut dibawa paksa oleh petugas. Mirisnya, Nenek tersebut menangis sambil mengatakan bahwa ia tak mengetahui di mana letak kesalahannya.

"Di sini berbahaya, Nek! Nenek nggak boleh berjualan di sini apalagi berjualan sate penyu!" seru salah seorang petugas sambil memegang lengan si Nenek.

Singkat cerita, menurut apa yang Papi ketahui, pada jaman dahulu pulau Serangan terkenal akan habitat para penyu. Sayangnya, ada beberapa orang yang tak memahami bahwa semakin lama jumlah penyu semakin berkurang, bahkan nyaris punah hingga mereka sangat membutuhkan perlindungan. Namun, jangan khawatir. Sekarang masyarakat sudah semakin sadar dan teredukasi. Yang kudengar, pulau Serangan akan dijadikan sebagai salah satu tempat penangkaran penyu terbesar yang ada di pulau Bali. Keren sekali, bukan?

Keadaan agak berubah saat kami meninggalkan jembatan lalu memasuki bagian persimpangan jalan. Papi pernah memberitahuku bahwa jalur kanan dan kiri merupakan jalan menuju rumah warga, sementara jalur lurus merupakan jalan menuju pantai. Kami mengambil jalur lurus, melewati beberapa cafe yang terdapat di sisi kiri dan hutan kecil yang terdapat di sisi kanan. Kumpulan semak belukar tampak berdesak-desakkan memenuhi bagian tepi jalan saat jalur mulai sedikit berbelok ke kanan.

Kami tiba di sebuah dataran terbuka yang sedikit menyilaukan mata. Saat pertama kali melihat dataran tersebut, aku langsung menamakannya sebagai padang tandus karena dataran itu tampak kering, jarang terdapat pepohonan—sesekali hanya ada batang tanpa daun, tetapi justru itulah yang membuatnya istimewa. Tempat tersebut memiliki nuansa tersendiri—eksotis, sangat kuanjurkan bagi kalian yang senang berfoto ria.

Sayangnya, kami harus ekstra berhati-hati dengan lubang-lubang tanah terbuka yang bisa berpindah-pindah tempat, mungkin gambaran kecil mengenai keretakan bumi atau kondisi pulau yang masih belum stabil. Namun, aku rasa kondisi tempat ini akan menjadi jauh lebih baik mengingat kemajuan teknologi yang semakin pesat.

»©»©»©»

Apa kalian pernah datang ke pulau Serangan? Jika iya, tulis pengalaman kalian mengenai pulau tersebut di kolom komentar ya! I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©

Did you enjoy chapter 37 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang