"Jika nenek moyangmu memiliki 'warisan' yang diberikan secara turun-temurun dan tetap terjaga hingga jatuh padamu, maka kamu adalah seseorang yang istimewa." —merujuk kepada kebaikan.
Denpasar, 1997.
Aku dan kedua orang tuaku pergi memenuhi undangan dari salah satu kerajaan di Bali untuk menonton sebuah upacara bernama ngerebong. Sesuai dengan namanya, ngerebong memiliki arti, yakni berkumpul. Karena dianggap sangat sakral, para polisi adat Bali alias pecalang mengosongkan jalan demi mengamankan dan melancarkan jalannya upacara.
Hampir semua orang yang datang mengenakan pakaian adat Bali, begitu juga dengan kedua orang tuaku. Orang-orang tertentu mengenakan pakaian tambahan berupa rompi dalam berbagai macam warna dan motif yang kuyakini memiliki arti khusus. Secara garis besar, itu merupakan sebuah pemandangan yang menyenangkan, menggugah titik sentimental atas kebersamaan melestarikan budaya.
Mami memilih untuk menonton dari deretan paling belakang, sementara Papi yang sedang menggendongku, memilih untuk menonton dari deretan paling depan. Yah, begitulah mereka. Dalam bidang tertentu, kedua orang tuaku memiliki sisi yang sangat berbeda. Namun, mungkin itulah yang menjadi daya tarik-menarik.
Upacara diawali dengan acara sembahyang di pura. Ada begitu banyak canang, bunga-bunga yang cantik, buah-buah yang segar, dupa, payung, bendera dan lain-lain. Jika kalian mau memperhatikan lebih saksama, aku yakin bahwa kalian akan turut merasakan bagaimana energi orang-orang yang sudah bekerja sama dan bekerja keras demi upacara tersebut.
*Sebuah hasil karya budaya sebagai bentuk persembahan dalam ritual keagamaan umat Hindu.
Bagiku, ini seperti sebuah pesta penyambutan. Aku merasa senang, tak sabar dan menanti sesuatu yang akan segera datang bergabung bersama dengan kami semua. Tapi, tunggu... sesuatu itu apa? Atau... siapa?
Beberapa pria mulai riuh bersemangat pada saat memasuki acara adu ayam. Ayam-ayam yang digunakan adalah ayam-ayam yang tampak gagah perkasa seakan siap untuk bertarung. Pada bagian ini aku tak banyak menonton karena teringat oleh ayam-ayam yang ada di rumah. Aku langsung merindukan mereka walau sejujurnya aku masih belum bisa menghafalkan semua nama dan membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Para pengikut upacara sempat keluar melalui gapura, membentuk semacam iring-iringan yang dikawal oleh para pecalang, berkeliling sebanyak tiga kali. Oh, iya, yang menarik ada selembar kain berukuran sangat panjang yang diletakkan di atas bahu orang-orang dalam iring-iringan tersebut.
"Itu Barong-nya!" seruku dengan penuh semangat, berusaha mengabaikan keberadaan yang satu lagi, yang disebut dengan Rangda, karena merasa takut.
*Barong adalah lambang kebaikan bagi masyarakat penganut Hindu. Ia menjadi pemimpin pasukan kebaikan yang bertempur melawan Rangda, ratu (iblis) dari para leak dalam mitologi Bali.
Aku tak begitu memperhatikan urutan acaranya, tetapi ada beberapa tarian, baik dari penari perempuan maupun laki-laki, yang tentu saja diiringi oleh baleganjur.
*Alunan musik tradisional Bali.
Di suatu momen aku melihat ada begitu banyak pelangi yang berjatuhan dari atas langit dengan kecepatan tinggi, mirip seperti air hujan dengan skala yang lebih besar. Pelangi-pelangi tersebut berubah bentuk menjadi bayangan-bayangan. Beberapa di antaranya berwujud seperti manusia dan yang lainnya tak terlihat begitu jelas. Perhatianku terfokus pada salah satu sosok yang memiliki kuku-kuku tangan yang berukuran sangat panjang. Uniknya, jemari tangannya terus bergerak seakan sedang... menari(?). Mataku mengerjap saat beberapa dari mereka mulai menembus orang-orang yang "terpilih", yang tiba-tiba menjadi berprilaku berbeda. Ada yang berteriak-teriak, menggeram, menangis, tertawa dan yah, benar... menari.
*NB: Karena masih kecil aku menyebut aura sebagai pelangi.
Jumlah orang-orang yang "terpilih" semakin bertambah. Mereka menggunakan benda-benda tajam yang disediakan untuk melakukan sebuah tradisi bernama ngurek alias menusuk diri sendiri. Ada yang menusuk bagian dada, perut, kepala, tangan dan juga leher. Yang menurutku paling ekstrem adalah hal tersebut tak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Ajaibnya, tak ada satu pun dari orang-orang tersebut yang terluka atau mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut aku merasa terkejut, bingung sekaligus terpukau. Tentu saja aku juga sempat merasa takut, tetapi entah bagaimana, saat mendengar suara Pemangku, aku merasa lebih tenang. Di sisi lain, beberapa anak yang ada di barisan belakang justru mulai menangis. Dan sepertinya aku harus membantu salah satunya.
»©»©»©»
Apa kalian tahu tradisi yang ada di daerah kalian? Jika iya, isi di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 1 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -

KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!