45. SANG PETAPA

38 21 0
                                    

"Sang Petapa meninggalkan sebuah warisan—yang sebagian orang sebut sebagai berkat dan sebagian lagi sebut sebagai kutukan."

Tulungagung, 2003.

Sebenarnya orang-orang yang kami temui tentu saja tahu bahwa aku bukanlah cucu kandung dari Oma Swan. Beberapa dari mereka bertanya mengenai cucu siapakah sebenarnya diriku ini. Dan saat Oma Swan menyebut nama Opa, orang-orang langsung berkata, "Oalah! Iyo-iyo. Iki toh!" seakan-akan mengenali Opa yang sudah meninggal sekitar 40 tahun silam.

*Iya-iya. Ini toh!

Ya, itu mungkin dikarenakan mereka lahir, tumbuh dan menua di tempat yang sama sehingga sejarah atau kabar mengenai keluarga lain masih diperbincangkan atau menjadi bahan cerita. Namun, usut punya usut, secuil kisah yang pernah kudengar mengenai Opa adalah ia dikenal sebagai seorang petapa yang gemar bermeditasi dan mengajarkan ilmu bela diri berupa kungfu dengan pedang kepada penduduk sekitar. Banyak orang yang memanggilnya sebagai guru. Entah mengapa saat menulis ini aku jadi teringat pada karakter Ip-man, Bruce Lee dan semacamnya. Tentu saja Opaku tak sehebat mereka, tetapi bagi para warga di sana, dulu Opa merupakan salah satu orang yang cukup berpengaruh.

Pada saat masa peralihan ada masa di mana kondisi perekonomian para penduduk mengalami krisis. Banyak perampok yang datang ke wilayah ini dan Opa menjadi salah satu pendekar pada masa itu. Dinding-dinding antar rumah dijebol guna mempermudah pergerakkan antar warga jika ingin mengepung para perampok. Orang-orang saling tolong-menolong dan kompak dalam melancarkan strategi yang sudah direncanakan secara matang. Ada kaleng-kaleng atau semacamnya yang dibunyikan guna menjadi pertanda letak rumah yang sedang dimasuki oleh perampok. Ketegangan selalu terasa bila langit senja mulai menggelap. Para orang dewasa menjadi was-was dan kebanyakan akhirnya justru lebih sering tidur kala matahari sudah terbit, sementara anak-anak sengaja ditidurkan lebih awal. Bisa dikatakan bahwa di masa-masa tersebut mereka hidup di dalam teror walaupun saat itu negeri kita sudah merdeka.

Di waktu-waktu tertentu, bila dirasa aman, Opa sering pergi bermeditasi sendirian ke gua yang ada di gunung terdekat. Sifatnya yang agak kaku, penyendiri dan tak mengenal rasa takut sepertinya agak menurun padaku. Ia jarang berkeluh kesah dan lebih suka memendam perasaannya sendiri. Tak banyak yang tahu apa saja yang telah dilaluinya di gunung tersebut dan hal itu masih menjadi sebuah misteri besar bagi kami yang menjadi keturunannya. Menurut kabar lain yang pernah kudengar, Opa juga memiliki penglihatan yang diperolehnya dari nenek moyang. Dan karena itu aku jadi mengetahui bahwa penglihatanku ini merupakan warisan turun-temurun. Namun, dari sekian banyaknya anggota keluarga, bagaimana warisan ini justru bisa jatuh padaku... aku pun juga tak tahu.

Suatu hari salah satu orang yang sedang pergi ke gunung menemukan Opa dalam keadaan sekarat. Melihat hal tersebut, orang itu langsung berlari dan memanggil para warga. Singkat cerita, para warga bergotong-royong menandu Opa menuju ke rumah. Beberapa hari kemudian, Opa pun dinyatakan meninggal di usia yang cukup termasuk muda, yakni 37 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan lima orang anak. Anak tertuanya, yakni Papi, saat itu baru berumur sekitar sepuluh tahun.

Memang ya, tak banyak yang bisa kuceritakan kepada kalian mengenai Opa. Sebagaimana kalian tahu, Papiku pun yang waktu itu masih berumur sepuluh tahun, hanya bisa mengingatnya secara samar.

»©»©»©»

Tambahan—edisi spesial.

Namun, siapa yang akan menyangka... puluhan tahun kemudian, setelah hari kematiannya, aku kembali bertemu dengan Opa dalam sebuah acara kematian salah satu anggota keluargaku. Rasanya sangat canggung dan sulit untuk percaya. Pasalnya, ia sudah terlahir kembali dan menjadi manusia yang tentu saja sama sekali tak mengenali kami sebagai keturunannya.

Kalian pasti bertanya-tanya, bagaimana cara aku bisa mengetahuinya?

Hmm... Hal ini merupakan rahasia umum di keluarga besar kami. Tidak hanya aku, anggota keluarga yang lain pun mengetahuinya melalui salah satu tradisi kuno yang pernah dilakukan secara turun-temurun oleh keluarga "Tulungagung". Kami percaya bahwa sesuatu yang telah meninggal akan terlahir kembali alias bereinkarnasi. Sayangnya, aku tak bisa menceritakannya sekarang karena ini belum waktunya. Nanti, ya... bila waktunya sudah tiba dan tepat, akan kuceritakan bagaimana pertemuanku dengan "Opa" di masa depan, belasan tahun dari sekarang.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 45 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕 Cuma butuh beberapa DETIK kok.

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang