38. TIGA GOLONGAN

66 23 7
                                    

"Pergilah ke pantai dan kau akan segera menemukan cerita baru."

Denpasar, 2003.

Yang jelas, aura petualangan mendebarkan selanjutnya sudah menanti kami dan itu akan segera terjadi saat kami tiba di tepi pantai. Biasanya kami akan berpencar, melakukan kegiatan favorit masing-masing sambil saling mengamati dari kejauhan. Papi akan memancing di spot batu karang favoritnya, aku dan Hugo akan bermain sambil mencari kerang di tepi pantai kemudian Mami dan Fredie akan mendengarkan lagu sambil membaca majalah di dalam mobil.

NB: Ya, ya, ya. Aku tak tahu Fredie benar-benar ikut membaca atau tidak. Namun, ia akan bertengger di bahu Mami sambil mengamati huruf-huruf yang tertera di dalam majalah kemudian bergumam menggunakan bahasa "uniknya" seperti seseorang yang sedang membaca.

Hmm... oke, bagi kalian ini mungkin merupakan cara yang aneh untuk menghabiskan waktu bersama karena kalian belum mengetahui bagian akhirnya. Kegiatan favorit kami hanya sebatas hingga sunset tiba. Jika matahari sudah mulai turun, kami akan segera berkumpul untuk menikmati pemandangan sambil memakan makanan ringan dan meneguk soda atau jus dingin yang sudah disiapkan di kotak pendingin. Tak hanya itu saja, saat sudah tiba di rumah... biasanya Mami akan memasak ikan atau cumi-cumi hasil pancingan Papi (Harus kurelakan untuk tak kupelihara karena memang mereka biasanya tak bisa bertahan lama) dan seember kerang hasil galianku bersama Hugo.

Jika dilihat dari sisi geografisnya, pulau yang (tentu saja) dikelilingi oleh air ini memiliki pantai-pantai yang "terjangkau dan tidak terjangkau". Karena sudah beberapa kali mengamati pantai-pantai tersebut, aku pun mengkategorikannya menjadi tiga golongan.

Pertama, pantai dengan struktur tanah berbentuk huruf "L" alias sudut sembilan puluh derajat, bertahap—mirip seperti anak tangga. Jenis pantai yang indah, berpasir putih dengan beraneka cangkang kerang dan kelomang nan cantik berwarna-warni yang bisa kalian temukan dengan mudah tepat di tepi pantai.

Terkadang aku merasa seakan-akan laut memang sengaja mengumpulkan semua cangkang-cangkang indah itu menjadi satu lalu membuangnya ke tepian. Yang kutemukan biasanya hanyalah cangkang kerang atau kelomang yang sudah kosong. Namun, selama beberapa kali aku juga pernah menemukan yang masih berisi.

Suatu hari aku pernah membawa salah satu kelomang pulang ke rumah dan memberinya nama Lucky. Seperti namanya, Lucky beruntung karena memiliki sebuah cangkang cantik berwarna putih dan jingga, berukuran sekitar lima sentimeter, berbentuk spiral, sedikit bergerigi dan mengerucut. Untuk ukuran hewan peliharaan, Lucky merupakan hewan yang pemberani, tak seperti kebanyakan sifat alami kelomang pada umumnya.

Saat aku mengetuk atau meniupkan udara pada cangkangnya, ia akan segera keluar, menggelitik telapak tanganku atau berjalan-jalan mengelilingi ruang tamu. Jika Hugo menggonggong padanya, ia justru akan keluar dari cangkang, menghampiri Hugo, seakan menganggap gonggongan itu sebagai ajakan bermain.

Namun, sayangnya, Lucky hanya bertahan sekitar enam bulan saja hidup bersama kami. Tentu saja aku menangis tersedu-sedu saat kehilangan dirinya. Ada semacam perasaan bersalah yang melandaku. Aku berharap aku bisa menebus kesalahanku dan memutar waktu. Namun, karena pada akhirnya aku menyadari hal tersebut tak mungkin terjadi... jadi aku berusaha melakukan yang terbaik.

Aku dan Hugo mengubur Lucky bersama dengan cangkangnya di halaman rumah, dekat kolam air mancur mini, di bawah batu-batuan berwarna putih yang memang sengaja diletakkan di sana sebagai hiasan. Tempat tersebut adalah tempat terindah di rumah kami dan spot yang paling mudah untuk dijumpai.

Sejak saat itu aku tak pernah membawa kelomang pulang ke rumah karena sadar bahwa hewan tersebut sama sekali tak cocok untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Mereka lebih cocok tinggal di laut, mempercantik laut dan hidup lebih lama.

Walau pantai tersebut memiliki hamparan kerang dan kelomang dari ujung kiri hingga ujung kanan, tetapi kalian harus berhati-hati saat mendekati bagian tepi. Jika biasanya penilaian kedalaman suatu laut secara mudah bisa dilihat dari gradasi warna permukaan air, maka tidak dengan tempat yang satu ini. Wilayah ini tak memiliki gradasi warna. Aku pernah terkejut karena melihat bagaimana perbatasan tepi pantai seakan langsung menuju laut dalam. Inilah salah satu alasan mengapa aku lebih suka di pantai daripada di laut. Bagiku itu agak mengerikan, seakan-akan setiap keindahan memiliki bayaran tersendiri. Tepi pantai tersebut berwarna biru tua dan tak jauh dari sana ada beberapa perahu yang lalu lalang.

Selama dua hari berturut-turut, aku pernah memimpikan diriku di pantai tersebut. Di mimpi yang pertama... saat itu aku sedang berdiri sendiri, memandangi laut, kemudian tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menarik diriku mendekat ke tepi pantai. Aku berlutut, meletakkan kedua tangan di atas pasir, mencondongkan tubuh dan nekat menenggelamkan wajahku ke dalam air untuk mencari tahu apa yang ada di bawah sana. Hasilnya, aku tak melihat satu makhluk hidup pun, tetapi akhirnya jadi mengetahui bahwa kondisi di bawah sana sangat gelap dan sunyi. Di mimpi yang kedua, aku kembali berada di sana dalam posisi sudah menenggelamkan wajah di tempat yang sama. Namun, bedanya kali ini aku terjatuh kemudian tenggelam ke dasar laut yang gelap dan sunyi tersebut. Saat aku berusaha berenang ke atas, ada sebuah tangan berukuran besar dan berwarna hitam yang merengkuh pinggangku. Orang-orang mulai berteriak dan berkumpul, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa turun menyelamatkanku.

Kedua mimpi tersebut kuanggap sebagai semacam peringatan bagiku. Sejak memimpikan hal tersebut aku tak pernah berani mendekat ke bagian tepi pantai karena sepertinya memang berbahaya. Di lain sisi aku juga jadi menyadari bahwa sebenarnya aku memiliki semacam alarm peringatan yang "sangat unik", yang entah datang dari mana.

Kedua, pantai dengan struktur tanah berbentuk tanda miring (/) alias sudut empat puluh lima derajat. Letak pantai tersebut bersebelahan tepat dengan tempatku mencari kerang. Pada bagian yang miring terdapat batu-batuan yang mayoritas berukuran besar, berwarna dark denim, berkilau saat ombak menabrak dan membuat bebatuan tersebut menjadi basah. Di antara celah-celah bebatuan tersebut, aku sering melihat kepiting dewasa, kelomang, siput laut, kerang bahkan ular laut. Namun, jangan salah, tempat tersebut justru merupakan wilayah favorit para pemancing, termasuk Papi.

Ketiga, pantai dengan struktur tanah berbentuk setengah huruf "U" alias melandai. Pantai ini adalah jenis pantai yang paling aman dan umum yang kuketahui, mirip seperti pantai Kuta. Pasirnya lembut, berwarna abu-abu kehitaman—di tempat-tempat tertentu mungkin berwarna lebih cerah.

Terdapat begitu banyak pola lingkaran kecil yang gembur, yang terbentang nyaris di sepanjang pantai. Jika kalian tak mengetahuinya, itu merupakan rumah para kepiting kecil. Selain itu, kalian juga bisa menemukan kerang-kerang berwarna ungu seukuran jari telunjuk sekitar empat puluh sentimeter di dalam pasir. Jika kalian beruntung, terkadang ada pula bayi-bayi para lobster. Di sana, aku dan Hugo sering bermain istana pasir atau "Ayo, kubur aku!"

Lebih tepatnya hal itulah yang sedang kami lakukan sekarang.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 38 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikancerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love,Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang