"Entah mendapat keberanian dari mana, aku tak menjerit, juga tak berlari, seperti yang mungkin akan dilakukan oleh anak kecil lainnya."
Denpasar, 1998.
Lahir dan tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang menyukai alam dan seni, membuat aku tak bisa jauh dari keduanya. Ini mirip seperti perangkap dalam jaring, tetapi jenis yang akan kusinggahi dengan senang hati. Perpaduan kedua unsur tersebut bisa kalian temukan dengan mudah saat melihat keadaan rumah. Ada begitu banyak tumbuhan dan hewan, bahkan hiasan dan ukiran yang bisa dikatakan tak biasa. Katanya, rumah seniman memang memiliki gaya yang khas—eksentrik? Menurutku, rumah ini merupakan gambaran yang tepat. Dari banyaknya kemungkinan tanggapan orang, aku menganggapnya sebagai sebuah "surga" kecil, tempat di mana kami bisa berkumpul, berbagi dan tertawa bersama. Semua terasa begitu sempurna.
"Mi, kenapa kita masih berdiri di sini sih? Tamunya Papi, kan, sudah datang."
Mami setengah mencondongkan tubuhnya padaku. "Masih ada tamu lain yang bakal datang, Ensa. Kita harus tunggu sebentar lagi."
Saat aku sudah menghela napas untuk yang kesekian kali, bergerak-gerak seperti cacing kepanasan karena bosan, kemudian terbesitlah sebuah ide. "Apa aku boleh main?"
"Boleh. Hanya di sekitar sini. Jangan masuk ke dalam."
"Oke."
Aku segera meninggalkan para orang dewasa tersebut untuk mengamati serat pohon terdekat dan langit biru yang sedang berawan. Oke, mungkin beberapa dari kalian akan menganggap hal tersebut sedikit... aneh, mengingat kebanyakan anak tak ingin berada jauh dari jangkauan orang tua dan merecoki mereka. Dalam kasusku, aku memiliki beberapa kecenderungan lebih mudah berbaur dengan alam daripada manusia. Kalian tahu, manusia itu rumit dan begitu pulalah aku. Rumit ditambah rumit sama dengan rumit-rumit alias sangat rumit. Karena hal tersebut aku menyadari bahwa terkadang kita harus memiliki ruang khusus berupa "me-time" untuk menstabilkannya. Dan... inilah salah satu caraku.
Aku ucapkan, "Selamat datang ke dalam duniaku."
Setelah merasa bosan, aku berjalan mendekati sumur yang terletak di sebelah kanan halaman. Sumur tersebut berukuran cukup besar, ditutupi oleh beberapa lembar papan kayu dan temboknya terbuat dari batu-batu yang kini sudah tampak berlumut. Sejauh yang aku tahu, sumur tersebut sudah ada sejak lama, jauh sebelum kedatangan kami, dan sama sekali tak pernah kami gunakan.
"Papi itu apa?" tanyaku saat pertama kali menyadari keberadaan sumur tersebut.
"Itu sumur, Ensa." Papi menggandeng tanganku, mengajakku mendekati sumur.
"Sumur itu apa?"
"Tempat menampung air hasil serapan tanah."
"Boleh aku lihat?" pintaku setelah menyimpulkan bahwa melihat secara langsung adalah tindakan terbaik untuk lebih memahami penjelasan.
Papi menimbang-nimbang permintaanku selama beberapa saat lalu mengangguk. "Kamu mundur dulu. Jaga jarak."
Aku mundur beberapa langkah, sementara Papi menggeser beberapa papan kayu yang terletak di atas sumur. Benda-benda berwarna coklat tua tersebut berderit seakan enggan terbuka. Lalu munculah sekumpulan asap putih yang membumbung tinggi, keluar dari dalam sumur.
Aku menunjuk ke arah sisa-sisa asap tersebut. "Sumurnya napas," kataku sambil tersenyum, seperti baru saja menonton sebuah pertunjukan sulap.
"Mungkin debu. Sumur ini, kan, sudah tua," kata Papi, merentangkan kedua tangannya padaku. "Ayo, Papi gendong biar kamu bisa lihat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
TerrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!