"Kamu harus tahu bahwa rasa takutmu justru akan menjadi bagian dari kesenangan dan keuntungan mereka. Jadi... jangan takut."
Denpasar, 1998.
Mami dan Mbak sedang sibuk memasukkan alpukat-alpukat berwarna hijau tua yang segar ke dalam keranjang. Aku mengambil salah satunya, sedikit terkejut karena mendapati buah tersebut cukup berat bagi kedua tanganku.
"Mbak, tolong nanti buatin aku jus ini, ya," pintaku.
"Iya, Non. Nanti Mbak bikinin," jawab Mbak sambil berlalu.
Ting... Ting... Ting...
Samar-samar aku mendengar sebuah suara yang berasal dari arah luar gerbang utama.
"Mi, itu bunyi apa?" tanyaku penasaran.
"Itu orang jualan yang lagi lewat, Ensa," jawab Mami, masih sibuk memilih buah alpukat.
"Jualan apa, Mi?" Aku berharap bunyi itu berasal dari penjual es krim.
"Mami nggak tau. Coba kamu lihat sana."
Aku memeluk Mami sekilas lalu berlari kecil, diikuti oleh Max dan Rudi yang entah sejak kapan sudah bergabung. Aku membayangkan bahwa kami bertiga sedang dalam sebuah perlombaan lari.
Di tengah perjalanan, tepat sebelum melewati pagar dalam, aku menghentikan langkah kakiku lalu mulai merajuk. "Kalian curang!" seruku kesal. Karena volume suaraku agak keras, kedua telinga Max dan Rudi langsung berdiri tegak karena terkejut. Sedetik kemudian, mereka sudah melihatku dengan tatapan sinis dan aku berusaha memberikan perlawanan dengan mengernyitkan hidung ke arah mereka. "Kalian, kan, kakinya ada empat, sementara aku cuma ada dua. Ya, pastilah aku kalah," sambungku, seakan-akan mereka bisa mengerti.
Ting... Ting... Ting...
Suara tersebut kembali menarik perhatianku.
Aku membuka pintu pagar dalam, berlari mendekati gerbang utama, melupakan kekesalanku terhadap Max dan Rudi. Jika pagar dalam berwarna putih dan memiliki sela, gerbang utama justru sebaliknya. Gerbang tersebut berwarna hitam, kokoh, tanpa sela dan berukuran dua kali lipat lebih besar.
Merasa penasaran, aku pun segera berjongkok, mengintip dari balik celah yang ada di bagian bawah gerbang. Max dan Rudi yang sudah berada di kedua sisiku, ikut mengintip bersamaku. Sayangnya, posisi tersebut tak senyaman yang kubayangkan dan aku hanya bisa melihat bagian jalan saja. Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berlutut dan meletakkan kedua tangan di atas tanah. Saat posisi sudah terasa pas, aku memiringkan kepala ke arah kanan, ke arah datangnya sumber suara.
Tiba-tiba Rudi mengendus-endus pipiku, membuat aku spontan terkikik, merasa geli karena hidungnya yang dingin dan basah. Aku menarik pipinya yang gembul lalu kembali mengalihkan pandangan.
Di luar gerbang tampak seorang pria yang sedang mendorong gerobak dagangannya. Pria tersebut mengenakan topi, kaos dan celana panjang berwarna senada. Saat memperhatikan gerakan tangannya, aku baru menyadari jika suara yang kudengar sejak tadi berasal dari sendok yang dipukul-pukulkan ke sebuah mangkok.
Max menjilati punggung tanganku hingga membuat aku terkikik kembali. Aku mendorong wajah Max dan melotot padanya, berharap ia menghentikan kegiatannya. Namun, dengan berani, ia justru berbalik melotot padaku, menarik beberapa helai rambutku dengan gigi-giginya.
"Iiiiihhh... sakitttt," ucapku lirih dengan suara khas anak kecil. Max mengacuhkanku, kemudian kembali menarik rambutku. "PERGI!!!" bentakku, mendorong wajahnya kembali.
Pedagang keliling tersebut tiba-tiba berhenti tepat di seberang gerbang. Jarak yang tak terlalu jauh membuat aku bisa melihat ekspresi wajahnya dengan cukup jelas.
Tanpa ragu, aku pun segera bertanya, "Pak, jualan apa?"
Pria tersebut menoleh ke kiri lalu ke kanan, tangannya bergerak mengambil handuk putih yang terselampir pada bahu. Ia mengusap bulir-bulir keringat pada wajahnya sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Pak, kok diem aja?" tanyaku bingung.
"SETAAAAANNNN!!!" teriaknya sambil mendorong gerobak dagangannya tunggang langgang, sama sekali tak melihat ke arah belakang.
Aku hanya bisa terperangah melihat apa yang pria tersebut lakukan sambil berharap agar ia tak memecahkan mangkok-mangkoknya. Lalu aku teringat bagaimana ekspresi aneh terlukis pada wajahnya. Aku rasa ada sesuatu yang salah.
Mami yang mendengar suara teriakan, berlari mendekat padaku. "Ensa! Kamu ngapain?" tanya Mami dengan suara panik.
"Bapak itu aneh, Mi! Aku, kan, tadi tanya: 'Pak, jualan apa?' Masa Bapak itu malah..." Aku memperagakan perilaku pria tersebut. "Dia teriak, 'SETAAAAANNNN!!!' terus lari."
Bukannya mengucapkan sesuatu, Mami justru tertawa terbahak-bahak, merangkul bahuku lalu mengajakku menuju ke dalam rumah. Sebelum melangkah lebih jauh, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah pohon jambu air. Mataku terhenti pada bagian tengah cabang pohon pertama, tempat yang sama dengan tatapan terakhir si pedagang keliling. Lalu aku mendapat semacam kilas balik.
Aku melihat diriku, Max dan Rudi sedang mengintip di balik gerbang. Sementara itu, pedagang keliling sedang menoleh ke kiri lalu ke kanan, tangannya bergerak mengambil handuk putih yang terselampir pada bahu. Rupanya pedagang keliling tersebut sama sekali tak menyadari keberadaanku. Ia semacam mengira bahwa ada suara, tetapi tak ada fisik. Dan itu cukup mengerikan untuknya.
*NB: Saat mendapat kilas balik, aku juga mendapat semacam perasaan.
Kebetulan yang aneh, tiba-tiba tatapannya tertarik ke arah pohon jambu air yang tumbuh di sebelah kiri gerbang. Di sana ia melihat ada seseorang yang "menyambutnya". Orang tersebut adalah sosok perempuan yang sama yang pernah kulihat sebelumnya. Perempuan tersebut tersenyum menyeringai ke arah pedagang keliling sambil menggerakkan jemari sebagai pengganti lambaian tangan.
Tiba-tiba pedagang keliling tersebut berteriak, "SETAAAAANNNN!!!" Ia mengira bahwa suara yang selama ini ia dengar berasal dari sosok perempuan yang mengerikan tersebut.
Lalu kilas balik pun memudar.
Apa yang terjadi barusan sangat aneh sekali. Rasanya seperti menonton film dan aku menjadi salah satu pemerannya. Jujur saja, hal tersebut menegangkan sekaligus seru. Namun, pada akhirnya aku mendesah karena aku teringat akan sesuatu.
"Berhenti mengganggu," gumamku kepada si Perempuan "Jambu Air", sebut saja begitu, setelah aku sadar bahwa secara tak langsung telah dimanfaatkan olehnya.
Perempuan "Jambu Air" tersebut justru tertawa melengking, terang-terangan mengejekku.
Aku rasa dia benar-benar menderita gangguan jiwa dan umm... "nyaris" tak terlihat.
»©»©»©»
Apa hantu di rumah kalian juga suka jahil? Apa kalian pernah merasakan kejahilannya? Tulis di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 6 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!