17. ANAK LAKI-LAKI BERKEMEJA PUTIH

1.8K 81 4
                                    

"Senyum dan tawa sepertinya mengandung sihir. Dalam sekejap keduanya bisa membuatmu berteman dengan siapa saja."

Kuta, 1999.

Beberapa anak yang tak ingin terlibat dalam masalah enggan bermain dan lebih memilih untuk memilin jemari mereka. Biasanya mereka akan duduk di undakan tangga yang berada tepat di tepi area bermain hingga orang tua mereka menjemput. Kuakui, terkadang aku menjadi bagian dari mereka, terkadang aku berada di perpustakaan atau kelas untuk membaca buku, terkadang aku juga keras kepala ingin tetap bermain di area bermain karena merasa memiliki hak yang sama—dan aku sering berakhir jengkel pada bagian yang terakhir.

Beberapa ibu yang tak peduli sibuk mengobrol sambil membiarkan anak-anak mereka berlarian, menabrak banyak orang, berteriak, bahkan membuli anak lain. Ada pula seorang ibu yang menyuruh anak-anak lain untuk menyingkir dari wahana yang ingin dimainkan oleh anaknya, seakan-akan wahana tersebut milik pribadi. Ibu tersebut terus melakukan hal yang sama saat anaknya berganti wahana hingga akhirnya bertengkar dengan ibu lain yang tak terima. Itu merupakan salah satu kejadian langka yang pernah kulihat dalam hidupku.

Seorang ibu dari salah satu adik kelas yang selalu membuatku terkagum-kagum melakukan hal yang sebaliknya. Daripada mengobrol, ia lebih memilih meghabiskan waktu untuk mendampingi, menolong dan menasehati anak-anak yang bermain agar berhati-hati dan menjaga jarak sehingga tak saling menyakiti. Andai, kalian bisa melihatnya. Aura seseorang yang dipenuhi kebaikan hati itu sama sekali tak bisa ditutup-tutupi. Wajah ibu tersebut bersinar kuning keemasan seakan memiliki mentari yang menaungi dirinya sendiri. Namun sayangnya, ibu tersebut tak selalu ada setiap kami pulang sekolah dan aku sadar itu memang bukan kewajibannya.

Saat satu persatu anak mulai pulang, mengurangi jumlah para pemain yang berada di area bermain, tiba-tiba ada sebuah tangan yang terjulur dari balik tanaman hias yang ada di sebelah kanan ayunan ganda. Tangan tersebut terangkat lalu bergerak selama beberapa saat seakan sedang memastikan keadaan. Setelah merasa aman atau begitu menurut dugaanku, sesosok anak laki-laki yang seumuran denganku keluar dari balik deretan tanaman hias tersebut.

"Kamu ngapain di situ?" tanyaku tak percaya.

"Bersembunyi," jawabnya dengan bibir melengkung membentuk senyuman. Ia berjalan ke arah samping ayunan lalu duduk tepat di seberangku. Dari wajahnya, sepertinya ia bukan penduduk asli. Kulitnya putih, sementara mata dan rambutnya berwarna coklat tembaga.

Aku tak begitu terkejut karena di sekolahku memang banyak yang berasal dari keturunan campuran. "Bersembunyi dari?"

"Orang."

Mataku melebar. "Maksud kamu, kamu lagi main petak umpet?"

Anak laki-laki tersebut hanya mengangkat bahu.

"Kamu nggak tahu apa yang kamu mainkan?"

Anak laki-laki tersebut kembali mengangkat bahu.

"Itu namanya petak umpet." Rasa antusiasku langsung lenyap begitu saja. Aku mendesah sambil menyandarkan punggungku pada ayunan. Kupikir, aku bisa ikut bermain.

Entah mengapa, saat kaki kami sempat bersinggungan, aku refleks menarik kaki. Saat mata kami saling bertemu, aku refleks memandang ke arah lain. Rasanya canggung karena ia mengamatiku secara terang-terangan dan tanpa henti, seakan-akan aku ini spesies yang baru ditemukan.

"Belum dijemput, ya?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Mau aku temani?"

"Boleh."

Anak laki-laki tersebut mengangguk sambil tersenyum.

Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi, tetapi pelajaran TK yang paling umum sepertinya sangat berguna di saat-saat seperti ini. Semua orang memulai percakapan dengan menanyakan nama, bukan? "Nama kamu siapa?"

"Siemen. Kamu?"

"Ensa."

Siemen kembali mengangguk dan tersenyum.

Aku berusaha kembali mencari bahan pembicaraan. "Seragammu beda. Kamu nggak sekolah di sini, ya?" Aku mengamati kemeja dan celana pendek serba putihnya yang tampak bersih dan disterika dengan rapi.

"Anak baru."

"Kelas?"

Siemen mengarahkan dagunya padaku. "Kelas berapa?" tanyanya balik.

Aku mengernyitkan dahi sekilas. "Oh, aku? Nol besar-A. Kamu?"

"Nol besar-B."

"Pantas saja aku nggak pernah lihat kamu."

"Aku, kan, anak baru."

"Eh, iya, ya."

"Anak baru, ya, bukan anak bau," katanya bersungguh-sungguh.

Aku terpana. "Jangan bilang kalau kamu masih suka ngompol." Aku memincingkan mataku, menatapnya lekat-lekat.

Siemen mendengus. "Memangnya kamu." Ia melemparkan ekspresi setengah mengejek, tetapi tetap tersenyum.

"Enak saja," balasku cepat lalu mendelik padanya.

Entah bagaimana, kemudian kami tertawa bersama-sama.

Yang mengejutkan ialah suara tawanya nyaring seperti dentingan lonceng. Jenis tawa yang sanggup membuat orang yang mendengarnya ikut tertawa, mengingatkanku kepada Mami. Aku sulit berhenti jika ia belum berhenti. Aku bahkan sempat melupakan alasan mengapa kami tertawa. Berada di dekatnya terasa sangat menyenangkan. Ia bisa membuat candaan yang ringan, tetapi tetap menghibur.

Namun sayangnya, di balik itu semua ternyata Siemen lebih rumit daripada yang aku bayangkan.

»©»©»©»

Kalian setuju nggak sama pendapat yang mengatakan bahwa anak indigo/sixth sense itu sulit mendapatkan teman? Tulis pendapat kalian di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©

Did you enjoy chapter 17 of VISIBLE 1?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang