40. RUMAH BARU

1.2K 31 12
                                    

Hanya kisah seorang anak kecil yang mencoba untuk mengerti. ~ Happy Reading ~

"Lalu bila semua ini hanya bersifat untuk sementara, ke mana tepatnya jiwa kita akan berlabuh?"

Jombang dan Kuta, 29 Maret 2001.

Selama menempuh perjalanan, rasa lelah yang teramat sangat menjalar di sekujur tubuhku. Sayangnya, aku sama sekali tak bisa tidur karena terganggu dengan suara sirine mobil putih yang berada tepat di depan mobil yang sedang kami tumpangi. Berbeda dengan Dirra dan Ranny, mereka berdua sudah tidur terlelap sejak awal keberangkatan. Beruntungnya, aku mendapat tempat duduk tepat di samping jendela karena setidaknya pemandangan jalan bisa menemaniku menghilangkan rasa bosan dan mengalihkan perhatianku dari rasa mual.

Mengenai Dirra yang sempat kami lupakan, aku dan Ranny menemukannya sedang bersantap di meja makan setelah kami menyadari kurangnya jumlah pemain.

"Ealah, kamu lagi makan toh, Dirr. Aku kira kamu masih sembunyi," kata Ranny, duduk di kursi bagian paling pinggir, sementara aku duduk di kursi bagian tengah.

"Habis kalian nggak ada yang datang sih. Jadi, lebih baik aku makan saja daripada bosan," jawab Dirra, terdengar santai.

Aku dan Ranny saling bertukar pandang, meminta maaf pada Dirra lalu menjelaskan mengenai kejadian yang terjadi di ruang tamu.

"Kakek memang nggak boleh diganggu," begitu kata Dirra. Lalu ia mengajak aku dan Ranny untuk makan bersama, sementara ia makan untuk yang kedua kalinya dan berat badannya tak pernah naik—salah satu faktor turunan dari Nenek yang sangat kami syukuri.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, akhirnya kami memasuki sebuah daerah yang terpisah dari rumah penduduk. Bagiku, tempat tersebut agak menakutkan. Rumput dan pepohonan yang ada di pinggir jalan tampak begitu kering, seakan-akan musim kemarau datang lebih awal. Anehnya, Om Reno, ayah Dirra, justru mengatakan bahwa kami sedang menuju ke rumah Kakek yang baru. Siapa coba yang mau tinggal di tempat seperti ini? batinku.

Kami terpaksa turun dari mobil karena harus melalui sebuah jalan setapak yang cukup panjang. Di sisi kanan-kirinya terdapat begitu banyak tanaman bambu yang menjulang tinggi dan tampak sudah tua. Saat angin berhembus dengan kencang, gesekan antara batang dan daun bambu mengeluarkan suara desir yang khas. Saat aku menoleh ke atas aku terkejut karena melihat "mereka" sedang menonton kami layaknya menonton sebuah pertunjukkan seni. Dari celah-celah pepohonan, wajah-wajah tersebut menampilkan ekspresi serba ingin tahu dan senyuman mengejek yang membuat bulu kudukku berdiri.

"Siapa yang datang kali ini?" tanya salah satu dari mereka, membuat aku langsung bersembunyi di balik tubuh Papi.

Melihat hal tersebut beberapa dari mereka langsung tertawa terbahak-bahak. Beruntungnya, hal itu tak berlangsung lama karena saat kami sudah semakin jauh berjalan, suara mereka terdengar semakin samar, tak ada yang mengikuti.

Kami memasuki sebuah tempat yang lebih terbuka di mana terdapat banyak batu atau kayu yang bertuliskan nama dan tanggal, menonjol dari permukaan tanah. Ada yang masih mengkilap, tetapi ada juga yang sudah berlumut, bahkan terkikis usia, nyaris tak bersisa. Beberapa orang terlihat berdiri atau duduk dalam diam seakan merenungi sesuatu. Di beberapa tempat tampak taburan-taburan bunga yang masih segar, mencolok, mirip dengan bunga-bunga yang ada di dalam keranjang para tante. Oh, iya, ada tanaman-tanaman hias, entah apa namanya, dan beberapa pohon Kamboja besar yang beraroma sangat harum.

Langkah kami akhirnya terhenti di depan sebuah lubang besar berbentuk persegi panjang yang sepertinya memang sudah dipersiapkan. Dengan sigap, beberapa bapak paruh baya yang sudah menanti kedatangan kami, bergotong-royong mengeluarkan Kakek dari sebuah tempat berbentuk kurungan setengah lingkaran yang mereka sebut sebagai keranda lalu menurunkannya ke dalam lubang. Setelah itu, doa mulai dilantunkan.

Kutarik ujung baju kemeja Mami, tetapi Mami justru sibuk menangis, mengabaikanku. Lalu sebuah perasaan aneh muncul saat aku melihat berbagai ekspresi dan reaksi orang-orang yang berdiri di sekeliling kami.

Air mataku mengalir deras dan ketakutanku memuncak saat para bapak paruh baya mulai mengambil tanah dan menutup lubang tersebut. Saat melakukannya, tak ada ekspresi tertentu pada wajah mereka, seakan-akan mereka sudah terbiasa. Mengapa mereka melakukan sesuatu yang mengerikan pada Kakek? Dan mengapa semua orang hanya diam dan menonton? Aku menangkupkan wajahku ke dalam kedua telapak tangan, tak sanggup melihat pemandangan tersebut lebih lama.

Sepulang dari tempat mengerikan itu, aku dan kedua orang tuaku langsung bertolak menuju Bali. Selama perjalanan aku terngiang-ngiang oleh pembicaraan para orang dewasa yang mengatakan bahwa Kakek baik-baik saja. Aku benar-benar tak bisa memahami perkataan mereka dan berusaha untuk tak memikirkannya karena aku percaya bahwa mereka takkan berbuat sesuatu yang jahat kepada Kakek. Kita keluarga, bukan?

Namun, anehnya, segala macam perasaan yang kurasakan sejak berada di tempat mengerikan itu sama sekali tak mau hilang.

»©»©»©»

Kehilangan Kakek adalah salah satu hal yang paling membekas bagiku. Ia adalah satu-satunya Kakek yang pernah "kumiliki" karena Kakek dari pihak Papi (Opa, begitu aku menyebutnya), sudah meninggal saat Papi berumur tujuh tahun.

Kakek pulalah yang menjadi orang pertama (yang kukenal) yang meninggalkan aku untuk selamanya. Memang kami tidak bertemu setiap saat, dalam setahun hanya bisa bertemu beberapa hari, tetapi aku sangat sayang kepada Kakek. Sayangnya, karena kondisi waktu itu aku masih sangat kecil, kami tidak memiliki banyak memori.

Dari pengalaman ini. aku ingin sharing kepada kalian:

"Berbahagialah kalian yang masih memiliki keluarga lengkap. Sayangi mereka, buat memori sebanyak-banyaknya untuk dikenang dikemudian hari dan diceritakan kepada anak dan cucu. Katakan: Dulu Nenek buyutmu kalau mencuci pakaian masih memakai koin; atau katakan: Dulu Kakek buyutmu pernah serius membaca koran, dikira bahasa asing, tetapi ternyata korannya terbalik; atau katakan: Taman itu dulu adalah tempat bertemunya nenek moyangmu; atau katakan: Dulu Kakekmu pernah dikunciin sama Nenekmu karena lupa ngucapin selamat ulang tahun."

"Yaahhh... mungkin memang tidak semua cerita akan mengenai hal-hal baik, tetapi memori akan selalu menjadi berharga karena tak tergantikan. Kalian tidak perlu menjadi pahlawan yang bertempur di medan perang untuk memiliki sejarah keluarga. Jadi, katakan dan ceritakan. Jangan biarkan mereka hanya tinggal nama lalu terlupakan begitu saja."

~ Have a nice day ~

Did you enjoy chapter 40 of VISIBLE 1?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang