27. JANGAN LEWATKAN KAMI

326 23 13
                                    

"Bukan hanya manusia saja yang keberadaannya ingin diakui, tetapi juga 'mereka'."

Lumajang, 2003.

Karena matahari sedang terik-teriknya, aku dan Ranny memutuskan untuk berdiam diri di dalam rumah, lebih tepatnya di ruang tamu. Saat sedang duduk di atas sofa dan mengarahkan pandangan ke arah luar jendela, kami melihat Dahlia dan Ira yang kebetulan sedang lewat. Kami memanggil mereka kemudian mengajak mereka untuk bermain bersama. Tentu saja, Dahlia dan Ira dengan senang hati langsung menyetujuinya.

"Mau main apa?" tanya Ira saat kami semua sudah berada di ruang tamu dan saling menanyakan kabar satu sama lain karena lama tak berjumpa.

"Main yang nggak kemana-mana. Udaranya lagi panas di luar," kata Ranny.

"Karena kita ada di dalam ruangan, bagaimana kalau kita main cublak-cublak suweng?" saran Dahlia.

"Apa itu cublak-cublak suweng?" tanyaku tak mengerti yang langsung disambut dengan suara cekikikan para anak perempuan.

"Cublak-cublak suweng itu nama suatu permainan tradisional Jawa asli," jawab Ranny.

"Oh, begitu ya? Ya, sudah. Ayo, kita bermain cublak-cublak suweng," kataku yang kembali mendapat suara cekikikan. "Memangnya kenapa sih pada ketawa?" tanyaku tak mengerti.

"Aneh sekali kalau mendengar kamu mengucapkannya," jawab Dahlia terus terang, membuat aku refleks memajukan bibirku dan membuat mereka sekali lagi kembali cekikikan.

Seperti biasa, sebelum memulai permainan kami melakukan hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan peran. Diriku selaku yang kalah harus berperan menjadi Pak Empo yang berbaring telungkup di bagian tengah, sementara para anak perempuan lainnya duduk mengitariku. Ini pertama kalinya aku bermain cublak-cublak suweng. Aku yang tak tahu cara memainkannya hanya bisa mengikuti arahan yang diberikan oleh mereka.

Para anak perempuan lainnya mulai menyanyikan lagu permainan yang terdengar unik dengan logat dan bahasa Jawa mereka yang sangat lancar. Aku tak tahu apa makna yang ada di balik lagu tersebut, tetapi kurang lebih liriknya terdengar seperti ini:

Cublak-cublak suweng.

Suwenge ting gelenter.

Mambu ketundung gudhel.

Pak Empo lirak-lirik.

Sopo ngguyu ndelikake.

Sir sir pong dele kopong.

Sir sir pong dele kopong.

Aku tak bisa menahan tawaku karena merasa geli pada bagian punggung akibat tangan mereka yang terus bergerak-gerak. Di akhir lagu, para anak perempuan lainnya berusaha menyembunyikan sebuah kerikil yang harus aku temukan. Uniknya, mereka semua berakting seolah sedang menggenggam kerikil, sementara aku dituntut untuk bisa menebak siapa yang sedang memegang kerikil yang asli.

Pada permainan ini aku cukup ahli karena selalu bisa menebak dengan benar. Caranya mudah, kita hanya tinggal memperhatikan anak perempuan mana yang tampak lebih mencurigakan atau gelisah dibandingkan yang lainnya. Entah matanya yang bergerak karena menghindari pandanganku atau tangannya yang terlihat jauh lebih tegang. Dari situlah aku bisa lebih mudah memutuskan dan hal itu rupanya membuat anak perempuan lainnya menjadi lebih cepat bosan. Mereka lebih senang bahwa aku tak berperan menjadi si Pak Empo.

Usai bermain cublak-cublak suweng, Ranny mengajak kami bermain bola bekel. Nah, untuk permainan yang satu ini sepertinya kami membutuhkan latihan dan keahlian. Di antara semuanya, Rannylah yang tampak paling mahir. Sementara itu, aku selalu gagal karena lagi-lagi ini kali pertama aku mengenal permainan tradisional Jawa.

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang