"Salah satu karunia yang dimiliki oleh seseorang adalah menemukan orang yang bisa selalu diandalkan."
Kuta, 2000.
Melihat reaksiku, para hantu tersebut langsung cekikikan sambil berlari menaiki tangga lantai dua, menimbulkan suara langkah kaki kecil.
"Dasar anak-anak nakal!" desisku sambil menunjuk-nunjuk.
Salah seorang anak perempuan yang rambutnya dikepang dua menoleh padaku, menjulurkan lidah guna mengejekku.
"Loh, kok ada lidahnya?" tanyaku bingung.
Para hantu tersebut tertawa terbahak-bahak lalu kembali berlari, hilang dari pandanganku.
"Lihat saja nanti. Aku akan cari cara biar kalian berhenti bikin onar!" seruku lewat batin.
Tiba-tiba suasana mendadak menjadi hening. Tak ada suara tawa, cekikikan, bahkan langkah kaki. Bukannya merasa tenang, aku justru semakin waswas. Ada sesuatu yang tak beres di sini. Dan benar saja. Ternyata hantu anak-anak tersebut mengadu kepada hantu dewasa. Buktinya, ada banyak hantu yang tiba-tiba bermunculan, mendekat padaku. Aku refleks mengambil langkah mundur.
Pandanganku beralih dari satu hantu ke hantu lainnya. Kebanyakan dari mereka bertubuh hitam dan berbulu lebat, tetapi ada juga yang mirip seperti kuntilanak. Mereka memberikan tatapan tajam ke arahku dan aku merasa terancam. Ini sangat tak adil. Sekumpulan hantu anak-anak nakal mengadu kepada hantu yang lebih dewasa untuk menghadapi seorang anak manusia.
Aku menanti hal apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi tak ada apapun. Mereka hanya berdiri dalam diam dengan mata yang terus mengamati, seperti yang biasa mereka lakukan. Dan kali ini aku yakin untuk menggertak.
"Mami! Mami mau ke mana?" tanyaku, menghampiri lalu menarik ujung kemeja Mami saat ia sedang mengambil kunci mobil Hardtop miliknya. "Aku ikut, ya, Mi!" pintaku tanpa menunggu jawaban. Berada di satu tempat yang sama dengan para hantu "jahat" membuat aku merasa ingin segera menjaga jarak—jika bisa sejauh mungkin.
"Nggak bisa, Sayang. Mami mau pergi ke supermarket."
"Ikut!" seruku bersikeras. Setelah berpikir dengan jernih, mungkin aku bisa memutuskan langkah selanjutnya, pikirku.
"Nggak bisa, Ensa. Mami mau pergi ke supermarket yang besar banget. Anak kecil belum boleh masuk." Mami mengambil tas lalu mengenakan kacamata hitamnya.
"Memangnya kenapa kalau besar? Supermarket, kan, memang besar?"
"Supermarket yang ini beda, Ensa. Supermarketnya penuh sama kotak-kotak kardus yang ditumpuk tinggi. Di sana juga banyak alat-alat berat buat angkut barang. Banyak orang yang mondar-mandir. Anak kecil nggak boleh masuk. Mami pernah cerita sama kamu. Nanti kalau kejatuhan, gimana?" Kini Mami menghela napas dan mencondongkan tubuhnya padaku. "Lagian Mami cuma mau nganterin karyawan biar tahu tempatnya. Jadi, besok-besok Mami nggak usah pergi," bisiknya.
"Oh, gitu, Mi. Supermarket yang gedeeeee banget itu, kan, ya?" Aku merentangkan kedua tanganku saat mengucapkan kata "gede" lalu mengangguk-angguk.
Mami mencium pipi kanan-kiriku secara bergantian. "Iya. Nah, itu pintar! Nanti kalau Mami pulang, Mami bawain ice cream deh, ya."
"Yeay! Okay. Hati-hati, Mi!" seruku, langsung mengiyakan permintaan Mami saat mendengar kata "ice cream", melupakan segala macam niat.
Mami mengangguk, melambaikan tangan lalu berjalan menjauhiku.
"Hati-hati. Jangan lupa ice cream-nya," teriakku saat Mami dan Mbak sedang memasuki mobil. "Ice cream! Ice cream-nya jangan lupa!" Tak jenuh mengingatkan Mami, walau mobil Mami mulai tampak menjauh.
Mbak Wayan tertawa geli melihat tingkahku. "Non, Non. Ibu, kan, cuma pergi sebentar. Ayo, Non, sini main sama Mbak aja," rayu si Mbak, menepuk bangku kayu jati kecil yang berada di dekatnya.
Aku justru merengut padanya. "Ih, Mbak, gimana sih? Kalau Mbak main sama aku, nanti Mbak nggak kerja dong?" tanyaku, menaik-turunkan alisku secara berulang.
Mbak yang tersipu malu segera pergi melanjutkan pekerjaannya, sementara karyawan yang lain terkekeh di belakang kami.
Saat semua sudah kembali sibuk bekerja, kecemasanku muncul mengingat hal yang seharusnya kutinggalkan kini sepertinya harus aku hadapi. Dengan perlahan, aku menoleh ke arah tempat berdirinya para hantu dewasa. Namun, ajaibnya, ternyata mereka sudah menghilang. Aku senang bisa menghela napas lega walau setidaknya untuk sesaat karena aku tahu ada sesuatu yang belum berakhir.
»©»©»©»
Ini pengalamanku saat "berseteru" dengan hantu anak-anak yang mengadu ke emak-bapaknya. Mereka mirip seperti manusia ya? Gimana nih, menurut kalian? I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 32 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
TerrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!