VOTE, VOTE, VOTE! ❤
"Alam bawah sadar terkadang membawa kita ke dalam situasi rumit yang sama sekali tak pernah kita perhitungkan."
Kuta, Januari 2002.
Saat hari sudah melewati waktu tengah malam, aku terbangun karena desakan panggilan alam. Dengan hati-hati, aku menuruni anak-anak tangga lantai dua yang menyadarkanku jika hari ini kami menginap di bungalow.
"Loh, belum tidur? Nggak bisa napas lagi?" tanya Papi yang ternyata sedang berada di dapur.
"Cuma kebangun. Mau pipis. Papi sendiri?"
"Papi nggak bisa tidur."
"Oh," balasku singkat sambil mengucek mata karena masih setengah mengantuk. "Aku ke kamar mandi dulu," sambungku, kemudian melewati Papi. Kebetulan letak kamar mandi kami bersebelahan dengan dapur.
Saat aku menginjakkan kaki di atas batu-batu hias taman yang diletakkan di sepanjang sisi dinding menuju kamar mandi, entah bagaimana tiba-tiba beberapa butir kerikil berjatuhan di atas kepalaku. Setelah kupikir-pikir, atap dapur dan kamar mandi kami bentuknya memang terbuka, memperlihatkan pemandangan langit secara langsung. Namun, aneh sekali jika ada kerikil yang berjatuhan dari langit. Apa ini serpihan meteor yang jatuh? Dan jawabannya tentu saja adalah tidak.
Ada seorang pemuda yang sedang memanjat dinding kami, membuat puncak dinding tersebut rontok. Pemuda tersebut tak datang hanya dengan tangan kosong. Di tangan kanannya ada sebilah pedang berukuran sekitar lima puluh sentimeter yang digenggam erat-erat sehingga membuat jemarinya tampak memutih. Kutebak, usianya masih akhir belasan atau awal dua puluh tahunan. Ada yang aneh pada gaya rambutnya. Aku tak tahu mengapa rambut pemuda tersebut tampak panjang sebelah. Sebelah kiri tampak pendek seperti model rambut laki-laki pada umumnya, sebelah kanan tampak panjang seperti model rambut seorang wanita.
Pemuda tersebut tampak terkejut melihat kehadiranku dan Papi. Matanya terbelalak, napasnya terengah-engah. Dengan gesit, seakan memang sudah ahli dalam melarikan diri, ia langsung membalikkan tubuh dan melompat ke balik dinding.
"HEEEIII!!!" teriak Papi sambil mengacungkan tangan lalu menarik pundakku. "LARI, ENSA! BANGUNIN MAMI," perintahnya.
Aku berlari sambil berteriak guna membangunkan Mami. Mami yang terkejut, tergesa-gesa menghampiriku.
"Ada apa, Ensa?"
"MALING!!!" seru Papi, menarik aku dan Mami menuju ke luar bungalow.
"Astaga," kata Mami lalu membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangan.
Saat tiba di luar bungalow, hal pertama yang kulihat ialah sebuah cahaya senter yang disorotkan tepat ke arah pucuk pohon kayu jati yang berada di seberang bungalow kami. Bila dipikir baik-baik, arah kedatangan cahaya berada tepat di balik bungalow, di mana maling tersebut seharusnya berada.
"Apa aku harus teriak 'maling'?" tanyaku teringat suatu adegan di televisi.
"Ya, teriak yang keras," jawab Papi.
Detik itu juga aku dan Mami langsung berteriak sekencang-kencangnya. "MALING!!! MALING!!! MALING!!!"
Lampu-lampu yang ada di dalam bungalow-bungalow lain mulai menyala satu persatu. Begitu banyak wajah yang mengintip dari balik jendela, tetapi hanya sedikit yang mau keluar dan mendatangi kami.
"Kalian tunggu di sini!" perintah Papi lalu mengambil tongkat. Tanpa menunggu balasan, ia langsung berlari menuju ke arah pintu belakang bungalow. Hanya ada seorang pria yang menyusulnya, yakni si penjaga pintu belakang bungalow.
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
KorkuBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!