"Sebagai makhluk hidup yang memiliki pengaruh yang lebih besar, seharusnya kita lebih banyak memberi daripada menerima."
Banyuwangi, 2003.
Secara mendadak, orang tuaku memutuskan untuk menunda kunjungan kami ke Surabaya dan beralih menuju ke Tulungagung. Bisa dikatakan, ini merupakan perjalanan terpanjang yang pernah kami lalui dengan menaiki mobil mercy antik milik Papi—yang dengan tangguh dan ajaib ternyata bisa menempuh berbagai macam jenis jalan, baik yang lurus maupun berliku, cukup terjal maupun mendatar.
Walau aku sempat muntah selama beberapa kali, tetapi aku merasa terhibur saat melihat pemandangan alam yang tersaji selama perjalanan. Warna biru dan hijau mendominasi penglihatanku. Adrenalinku terpacu karena rasa ingin tahu yang meluap-luap. Aku merasa pusing sekaligus senang. Sungguh perpaduan yang aneh.
Selang beberapa lama setelah menyeberangi selat Bali, mobil kami melintasi sebuah jalan yang bentuknya mirip seperti di daerah perbukitan. Saat jalan sedang menanjak, aku merasa seperti sedang berada di puncak. Saat jalan sedang mendatar, aku merasa seperti sedang berada di lembah. Papi memberitahuku bahwa kami sedang berada di daerah Banyuwangi, entah di mana tepatnya. Yang jelas, jalan tersebut masih terlihat seperti baru diaspal, sementara kanan-kirinya masih terlihat seperti hutan belantara. Suasana jalan tersebut tampak sepi—jauh dari aktivitas warga, hanya ada beberapa mobil saja yang sesekali lalu-lalang. Tak ingin melewati kesempatan tersebut, aku segera meminta AC untuk dimatikan dan membuka jendela mobil agar bisa menikmati pemandangan dengan lebih jelas.
Jangan lama-lama. Nanti kamu masuk angin, kata Mami memperingatkanku.
Aku pun mengangguk dengan patuh.
Hal pertama yang menyenangkan sekaligus mengejutkan ialah hembusan angin yang terasa begitu segar langsung menerpa wajahku di hari yang sudah mulai menjelang siang. Tak lama setelah itu, aku melihat ada dua ekor rusa yang muncul dari balik dedaunan di sisi kiri jalan, tampak menunduk seperti sedang mencari makan.
ADA RUSA!!! seruku sambil menunjuk makhluk yang sering dikait-kaitkan dengan cerita dongeng tersebut.
Mana? tanya Mami sambil memiringkan tubuh, sementara Papi memperlambat laju kendaraannya.
ITU!!! Aku kembali menunjuk ke arah rusa-rusa yang kini sedang menegakkan tubuh sambil memberi tatapan penasaran sekaligus waspada ke arah kami.
Ah, iya, Mami juga lihat, kata Mami.
Itu kayaknya bukan rusa deh. Itu kijang. Kalau rusa ukurannya pasti lebih besar, komentar Papi usai memperhatikan dengan saksama.
ADA KIJANG!!! seruku ulang dengan mata yang berbinar, mengaggumi bulu-bulu mereka yang indah terkena sinar matahari.
Jangan merasa heran jika aku terlihat sangat antusias. Ini adalah pertama kalinya aku melihat ada sepasang kijang liar di pinggir hutan tanpa disangka dan direncanakan, seakan-akan mereka baru saja keluar dari negeri dongeng. Sebuah kejutan yang menyenangkan dan pemandangan yang langka!
Mereka pasti dari negeri dongeng, kataku riang.
Mami dan Papi tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Saat mobil kami mulai meninggalkan sepasang kijang tersebut, aku melambaikan tanganku pada mereka. BYE-BYE, KIJANG. TAKE CARE. Bersamaan dengan salam perpisahanku, tiba-tiba sepasang kijang tersebut berjalan kembali ke dalam hutan. Ternyata mereka tak hanya berdua, tetapi bertiga. Seekor anak kijang yang sedang berjalan tertatih-tatih di belakang kedua kijang dewasa tersebut terlihat seperti baru lahir. Ahhh... detik itu juga aku langsung memutuskan untuk tak akan melupakan momen ini.
Kasihan. Sekarang jumlah kijang sama rusa di sini sudah berkurang drastis, kata Papi.
Kok bisa? Kenapa? tanyaku penasaran.
Ada banyak faktor, salah satunya karena tertabrak kendaraan sewaktu menyeberang jalan. Seharusnya pemerintah membangun pagar pembatas, tapi gimana ya, jalan ini saja baru selesai, jawab Papi.
Semangatku langsung memudar kemudian aku pun kembali muntah.
Jika dahulu kala jalan beraspal ini merupakan hutan yang menjadi habitat para kijang, seharusnya orang-orang tak lupa memikirkan kelangsungan hidup mereka. Rasanya, hal tersebut sangat tak adil dan egois. Aku tak sanggup membayangkan ada berapa kijang yang menjadi korban pada saat pembangunan jalan ini atau hal-hal lain yang mungkin telah terjadi.
Sebelum jendela ditutup, aku berdoa agar anak kijang dan kedua orang tuanya tersebut bisa hidup lama seperti nenek moyang mereka. Sepanjang jalan tersebut, aku dilanda perasaan bersalah karena menikmati perjalanan yang secara tak langsung turut mengorbankan hidup dan kenyamanan para hewan tersebut. Namun, perjalanan kami masih harus berlanjut. Dan kalian pasti takkan percaya apa yang dilalui mobil kami selanjutnya.
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 40 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
TerrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!