38. DERAI AIR MATA

1.2K 28 6
                                    

*Mohon maaf sebelumnya. Untuk yang sudah baca chapter kemarin, ada pergantian nama dengan Ketua Kelas di chapter ini. Thank you! ~ Happy Reading ~

"Bahasa para orang dewasa jauh lebih rumit karena terkadang mereka tak ingin berbicara, tetapi tetap ingin dimengerti."

Kuta, 29 Maret 2001.

Suara ketukan hak sepatu milik Miss Ivy, guru bahasa Inggris kami, menggema di sepanjang koridor yang ada di samping kelas. Walau beliau memiliki tubuh yang mungil, sejujurnya beliau adalah salah satu guru yang paling kutakuti. Sepasang mata yang selalu menyelidik di balik kacamata beningnya, yang kusebut sebagai mata kucing, mewakili sifat tegas yang dimiliki olehnya. Beliau adalah tipe guru yang tak pernah main-main dalam memberi hukuman, tetapi juga asyik diajak bercanda. "Ada waktunya," begitu yang selalu dikatakan olehnya.

Suasana kelas menjadi hening saat Miss Ivy memasuki kelas. Marcus, Ketua Kelas kami, memberi aba-aba untuk mengucapkan salam. Tak lama kemudian, Bu Fiona, Wali Kelas kami, menerobos masuk lalu berbisik kepada Miss Ivy. Serentak kami semua menjadi lebih rileks. Beberapa anak yang duduk tak jauh dariku mulai saling berbisik, membicarakan PR yang belum terselesaikan.

"Ensa!" seru Miss Ivy dengan suara nyaring.

Aku yang terkejut, sontak menundukkan kepala, merasa takut karena memang sedang dalam posisi menoleh ke belakang.

Sepasang mata Stefan melirik ke arahku. "Nah, loh!" celetuknya. Jemari tangannya sibuk memainkan bulpen, salah satu kebiasaannya yang membuatku gemas.

Aku menyenggol lengannya lalu mengangkat tangan kanan dengan ragu-ragu.

Miss Ivy dan Bu Fiona memandangku sekilas. Detik berikutnya, mereka sudah kembali tenggelam dalam percakapan dan fokus memandang selembar kertas yang dipegang oleh Bu Fiona.

Albertha yang duduk di bangku paling depan, berhadapan dengan meja guru, berjalan mendekati Raline untuk mengembalikan serutan pensil yang dipinjamnya. Bukannya segera kembali, ia justru berdiri di samping mejaku. "Ensa, memangnya kamu ngapain ke Surabaya?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.

"Hah? Nggak tahu. Kata siapa?" aku spontan balik bertanya.

"Kata Bu Fiona. Katanya, kamu mau ke Surabaya. Mami kamu sekarang sudah ada di bawah nungguin kamu." Rupanya gadis itu yang telah mencuri dengar percakapan para guru.

Aku mengangkat kedua bahu, tak tahu harus menjawab apa.

"Ensa, tolong kamu beresin tas kamu lalu ke depan," perintah Miss Ivy.

Aku segera mengerjakan perintahnya.

"Mau jalan-jalan, Sa?" tanya Marcus tiba-tiba.

"Jangan lupa oleh-oleh, ye," tambah Stefan, tak mau kalah.

Aku mengernyitkan hidung ke arah mereka berdua.

"Sa! Sa! Mami kamu ada di luar tuh!" seru Raline, menunjuk ke arah jendela.

Aku segera mengambil tasku lalu berjalan menuju ke depan kelas. "Ada apa ya, Bu?"

"Itu Mami kamu sudah jemput. Hari ini kamu pulang pagian," jawab Bu Fiona, mengarahkan dagu ke luar kelas.

Aku mengangguk, menyalimi kedua tangan mereka, menahan diri untuk tak kembali bertanya.

Miss Ivy dan Bu Fiona menemaniku hingga ke luar kelas, berbincang dan memeluk Mami sejenak. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi sesekali Mami mengusap kedua matanya yang tampak bengkak, merah dan berair. Tak lama kemudian, Mami berpamitan dengan kedua guruku, menggandeng tanganku dengan terburu-buru. Masih dalam keadaan bingung, aku berusaha payah menyamakan langkah kakiku dengan dirinya.

Saat sudah duduk di dalam mobil, aku baru bisa menghela napas sambil memejamkan mata sekilas. "Mami, kenapa sih? Memangnya kita mau ke mana? Kenapa Mami jemputnya jam segini? Aku, kan, pulangnya masih lama." Aku langsung memberi Mami begitu banyak pertanyaan dengan nada tak sabar.

"Kita buru-buru, Ensa. Kita harus pulang, jemput Papi terus cari taksi."

Alis mataku langsung bertaut. "Ngapain?"

"Kita... kita... mau ke Surabaya," jawab Mami dengan agak terbata.

"Naik pesawat, ya? Kita mau ke tempat Nenek, bukan?" tanyaku mulai antusias.

"Iya, Ensa," jawab Mami singkat, mengelus pucuk kepalaku dengan sebelah tangan.

"Yeayyyy!!!" seruku riang, duduk sambil setengah melompat di atas jok mobil. Namun, beberapa detik kemudian aku terdiam. Mau ke rumah Nenek, tapi kok malah nangis sih?

»©»©»©»

Ada yang bisa nebak, nggak, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Isi di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©

Did you enjoy chapter 38 of VISIBLE 1?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang