26. KELELAWAR

377 24 11
                                    

"Terkadang kita semua masih sulit untuk saling menerima bahwa sebenarnya kita tinggal di bumi yang sama."

Lumajang, 2003.

"Ada apa?" tanya Ranny yang tak memahami situasi yang sedang kuhadapi.

"Sebenarnya kita mau ngapain?" tanyaku balik.

"Oh, aku mau kasih lihat kamu kalau sekarang ikan-ikan lelenya sudah besar-besar. Kata Ibu, nanti kita bisa panen beberapa untuk makan malam loh," jawabnya dengan penuh semangat.

Aku kembali tak sampai hati untuk mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya. Kalimat yang tadinya berisi bahwa "Aku tak suka memakan ikan" tergantikan dengan "Nanti saja tunggu Mami dan Ibu."

"Kamu nggak mau lihat sekarang?" tanya Ranny heran.

"Aku takut," akuku tanpa memberi penjelasan lebih detail.

"Asal berhati-hati, kan, nggak apa-apa," kata Ranny, kemudian ia menggenggam erat tanganku. "Kita pegangan tangan saja kalau misalnya kamu takut. Aku nggak kemana-mana kok," sambungnya menenangkan.

Aku menimbang-nimbang sarannya dan akhirnya mengangguk dengan terpaksa karena tak berhasil menemukan alasan untuk menolak.

Saat kami berdua sudah berjalan mendekati sumur dan berdiri tepat di sampingnya, napasku tertahan.

"Ayo, lihat." Ranny memberi sebuah lirikan mata yang terarah ke dalam sumur.

Aku menelan ludahku dengan susah payah dan terdiam selama beberapa saat. Namun, pada akhirnya aku mencondongkan tubuh untuk melihat kondisi di dalam sumur.

Ada semacam kepulan asap hitam tak berbentuk yang berputar-putar di atas permukaan air. Saat aku mengedipkan mataku, kepulan asap hitam tersebut menghilang dan tergantikan dengan para ikan yang berenang ke sana kemari dengan mulut terbuka yang menghadap ke atas permukaan air.

"Banyak, kan? Gemuk-gemuk lagi," kata Ranny, berhasil mencairkan suasana dan mengalihkan perhatianku.

Aku membalasnya dengan sebuah anggukan dan senyuman yang sayangnya hanya bertahan untuk sesaat. Di pohon mangga yang berjarak hanya sekitar dua meter dari letak sumur, aku melihat ada begitu banyak makhluk berbulu dan bercakar panjang yang sedang asyik bergelantungan sambil memandang ke arah kami. Suara mereka terdengar seperti suara bisikkan yang saling bersahut-sahutan dan diselingi oleh suara geraman yang rendah.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Ranny penasaran, matanya mengikuti ke mana arah pandanganku.

"Ada banyak yang hitam dan bergelantungan," jawabku refleks, masih tertegun melihat makhluk yang begitu banyak.

"Apa maksudmu codot? Memang sih sudah beberapa kali kami kehabisan buah mangga karena jumlah mereka yang terlalu banyak. Kalau pun diusir pada akhirnya mereka selalu kembali karena tahu kalau rumah ini kosong. Bahkan kadang-kadang mereka sampai masuk ke dalam rumah dan bikin sarang. Ayah dan Ibu sampai nggak tahu harus bagaimana." Ada jeda selama beberapa saat. "Eh, kamu lihat codot-nya di bagian mana?" tanya Ranny mulai kebingungan.

*Kelelawar pemakan buah.

Kebetulan saat ini sedang tak musim buah mangga, jadi para codot itu pun memang sedang tak berada di sana.

Seperti yang kalian ketahui, aku jarang sekali bercerita mengenai penglihatanku kepada orang-orang di sekitarku. Namun, karena aku merasa bahwa kami bersaudara dan Ranny bisa dipercaya, ada sebuah keinginan yang menarikku untuk tampil lebih terbuka dan apa adanya.

"Di atas pohon. Ada banyak. Mereka sedang memandang ke arah kita," kataku pada akhirnya.

Tiba-tiba Ranny meremas jemariku. "Kamu sedang nggak membicarakan codot, kan?" tanyanya sambil berbisik.

Aku bersyukur karena otaknya yang encer sangat berguna disaat-saat seperti ini. Rasanya senang sekali karena tak perlu bersusah payah untuk memberi penjelasan di depan objek pembahasan.

Saat aku mengangguk, Ranny langsung menarik tanganku untuk segera keluar dari tempat tersebut.

"Aku sudah pernah mendengar kalau rumah samping itu angker... tapi... aku nggak tahu kalau kamu bisa melihat."

Aku hanya tersenyum kecut.

"Sejak kapan?"

"Sejak kecil."

"Kamu merahasiakannya, ya?"

"Nggak cerita bukan berarti merahasiakan," tampikku.

"Benar juga." Ranny mengangguk-angguk sambil terlihat sedang berpikir keras. "Apa mereka menyeramkan? Mengganggu? Menakutkan?" tanya dengan tak sabar.

"He-eh."

Ia menghela napas dan mulai terlihat gelisah. "Lalu bagaimana?"

"Nggak gimana-gimana karena sebenarnya mereka memang ada dimana-mana. Yang penting jangan sendirian kalau pergi ke tempat-tempat seperti itu. Oke?"

"Oke," sahutnya cepat. "Apa codot-codot itu jadi-jadian?" tanyanya penasaran.

Aku tak bisa menahan diriku untuk tak tersenyum. "Sepertinya bukan."

"Baguslah. Sepertinya aku nggak perlu susah-susah untuk menjaga lilin," candanya.

NB: Di tahun 90'an, entah bagaimana, cerita mengenai babi "ngepet" atau semacamnya menjadi trending dan sering diangkat ke dalam layar kaca. Kami—para anak-anak yang tak menontonnya pasti tetap pernah melihat iklannya (yang cukup panjang, tak seperti zaman sekarang) setidaknya satu kali.

Aku refleks menyenggol Ranny lalu kami pun tertawa.

Saat kami sudah memasuki pintu belakang rumah utama, tiba-tiba Ranny menghentikan langkahnya dan memberiku ratapan bersalah. "Sorry, sepertinya kita harus kembali."

"Apa? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Aku lupa mengunci pintu rumah samping," jelasnya kemudian.

NB: Pada malam harinya aku bermimpi bahwa aku jatuh ke dalam sumur tersebut. Itu semacam peringatan agar aku tak lagi mendekati bagian rumah samping. Sepertinya mereka tak suka bahwa "wilayah"-nya dikunjungi, terutama oleh orang yang mengetahui keberadaan mereka.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 26 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang