"Tak perlu menjadi sama agar bisa menciptakan sesuatu yang indah."
Denpasar, 2003 (Satu minggu kemudian).
Bagian jalan yang berada di seberang dam yang minggu lalu kami datangi ternyata kondisinya jauh lebih sepi. Memang masih ada beberapa pemancing, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit, bisa dihitung dengan jari. Dampak positifnya adalah sepanjang jalan ini terlihat lebih bersih, nyaman dan asri.
Saat tiba di area jalan yang sejajar dengan gerbang dam, ada dua tempat ibadah yang letaknya nyaris saling berhadap-hadapan. Kedua tempat tersebut adalah Klenteng dan Pura yang memancarkan aura yang sangat menyenangkan hingga membuat jantungku berdebar-debar.
Menurutku, masing-masing dari tempat ibadah tersebut memiliki keunikan tersendiri. Pura yang letaknya bersentuhan dengan tepi sungai terasa damai dan menenangkan, sementara Klenteng yang berada di sisi jalan yang lain terasa meriah dan mengobarkan semangat layaknya sebuah tempat yang menyiarkan berita-berita baik yang telah lama ditunggu-tunggu. Aku tak tahu mengapa merasa demikian, tetapi saat tiba di sana aku langsung merasa mendapat sambutan yang hangat.
Kami memasuki bagian Klenteng dan bertemu dengan seseorang yang sepertinya sudah Papi kenal. Mereka berbicara begitu akrab, sementara aku dan Mami memilih untuk melihat-lihat bangunan yang mirip dengan film yang sering ku tonton di televisi.
"Itu, kan, tempat untuk mengurung Sun Go Kong," bisikku kepada Mami sambil menunjuk ke arah pagoda emas nan cantik yang menjulang tinggi.
"Kalau kamu nakal, nanti kamu juga dikurung di situ," balas Mami, ikut berbisik.
Aku refleks memajukan bibirku, kemudian beralih memperhatikan beberapa tanaman yang sepertinya masih sebangsa dengan tanaman kaktus di area sekitar pagoda.
Hampir semua yang ada di dalam area Klenteng tersebut sangat menarik perhatianku. Aku berjalan ke sana kemari, memperhatikan ini dan itu. Dari begitu banyaknya hal, ada satu hal yang sangat tak biasa dan membuat aku terdiam begitu lama.
"Kok ada canang?" tanyaku kemudian, memperhatikan canang-canang yang diletakkan di dekat Hiolo raksasa yang terbuat dari kuningan.
*Tempat untuk menancapkan dupa.
"Selain umat Konghucu dan Budha, banyak sekali umat Hindu yang juga datang dan bersembahyang di tempat ini," sahut si penjaga yang baru saja bergabung denganku.
Aku yang terkejut akan kehadirannya refleks menoleh dan bertanya, "Kok bisa?"
"Di tempat ini semua orang saling menghormati dan menghargai perbedaan. Masing-masing dari kami menyadari bahwa kami memiliki tujuannya yang sama, yakni kepada Sang Pencipta. Saat tempat ibadah mereka sedang terlalu ramai atau sedang ditutup, biasanya mereka akan datang kemari. Kami sama sekali tak merasa keberatan. Asal niatnya baik, kami bersedia berbagi tempat untuk siapa pun yang datang," sambung si penjaga. Kali ini ia tersenyum.
Aku pun hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala sambil berusaha mencerna informasi yang kudapatkan. Oke, oke, oke. Ini mengenai pengertian dan toleransi. Walau baru mengetahui bahwa ada toleransi semacam itu, di sisi lain aku merasa senang karena segalanya bisa berlangsung secara aman dan damai.
Setelah beralih dari tempat Hio Lo raksasa dan canang-canang, penjaga tersebut membimbing kami menuju ke arah sebuah ruangan. Dalam perjalanan, aku melihat ada begitu banyak patung, baik "manusia" maupun "hewan". Tatapanku terpaku pada dua buah patung yang tampak berbeda daripada patung yang lain.
Patung-patung tersebut adalah patung prajurit yang lengkap dengan atribut perang mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Masing-masing dari mereka memiliki warna kulit yang berbeda. Yang satu berwarna hitam, yang satu lagi berwarna merah. Selang beberapa detik, tampak sosok-sosok yang serupa yang berdiri tepat di belakang patung-patung tersebut. Mereka memiliki ekspresi yang sangat fokus dan "garang" yang berhasil membuat aku merasa takut. Aku mengambil langkah mundur, berhenti, kemudian mengambil langkah maju. Rasa penasaran yang begitu besar membuat aku memutuskan untuk mendekati mereka.
"Om yang jaga, ya?" tanyaku kepada salah satu dari mereka dengan suara bergetar.
Mereka tetap menatap lurus ke depan, sama sekali tak tertarik untuk melihat ke arahku walau aku merasa sangat yakin jika mereka mendengar pertanyaanku. Saat aku hendak berbalik meninggalkan mereka, samar-samar aku mendapati suara batin.
"Tidak perlu takut. Wajah kami memang seperti ini, tetapi kami tidak jahat. Kami adalah pelindung tempat ini. Selamat datang."
Saat itu, secara ajaib, semua kekhawatiran dan ketakutanku langsung lenyap begitu saja. "Terima kasih. Aku tidak merasa takut lagi," balasku dengan riang.
Tiba-tiba mereka menggerakkan senjata yang mereka bawa sebagai balasan, membuat aku sangat terkejut dan akhirnya justru tertawa. "Kalau kalian sedang berjalan-jalan, aku pasti akan mengira kalau kalian adalah manusia yang mengenakan kostum."
"Ensa!!!" seru Mami yang ternyata sudah berada di depan ruangan, mengambil alih perhatianku.
"Iya, Mi," kataku terburu-buru menghampirinya.
"Kamu habis ngomong-ngomong sama siapa?" tanya Mami, memandang ke arah kedua patung prajurit tersebut. Aku mengunci mulutku serapat mungkin, membuat Mami akhirnya menyerah dan hanya bisa menghela napas. "Jangan jauh-jauh," katanya kemudian.
Aku pun mengangguk patuh.
Sementara Mami menyipitkan matanya padaku, aku berusaha menghindari tatapannya dengan memasuki ruangan yang sudah dimasuki oleh Papi dan si penjaga terlebih dahulu.
Warna merah yang dominan dengan tambahan warna emas sebagai pemanis memenuhi ruangan tersebut. Ada begitu banyak lilin, dupa dan hiolo beraneka ukuran yang diletakkan di mana-mana. Ada juga mangkok-mangkok berisi buah dan vas-vas berisi bunga yang disusun sedemikian rupa di atas sebuah meja altar. Di ruangan tersebut, aku kembali melihat patung-kali ini berukuran sangat besar. Anehnya, aku enggan menatap secara langsung ke arahnya, entah mengapa. Ada sesuatu yang kuat dan dominan padanya yang sulit untuk kujelaskan.
Kami berkumpul di bagian tengah ruangan dan masing-masing dari kami mengambil satu dupa. Sewaktu berdoa aku berharap bahwa tempat tersebut, seluruh bagian dam, Bali dan bumi ini bisa selalu damai dan dilindungi.
Pada intinya, aku merasa sangat bersyukur karena Papi mengajakku berkunjung ke Klenteng tersebut. Kini bertambah satu lagi pengalamanku-pengalaman yang berbeda, pengalaman yang lain daripada biasanya.
Manusia boleh berbeda-wajar saja jika berbeda. Namun, kita Indonesia, kita harus selalu saling menjaga. Ini adalah negeri kita tercinta, negeri yang sudah merdeka. Mari kita buktikan kepada dunia bahwa kita beraneka dan tetap bisa berjaya (Selamat Ulang Tahun Ke-75, Indonesiaku!).
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 22 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis. Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
TerrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!