"Di mana pun. Kapan pun. Tak mengenal tempat. Tak mengenal waktu."
Bali, XXXX (Tempat dirahasiakan), 2000.
Aku berjalan melewati tembok berbatu yang menjadi perbatasan antara pantai dan trotoar pejalan kaki. Ku sentuh tembok tersebut lalu tersenyum karena teringat akan sesuatu. Begini... walau hanya sekadar tembok, aku memiliki beberapa kenangan dengannya.
"Di sisi kiri sepanjang jalan ini pantai," Papi memberitahu saat pertama kali.
Aku membuka jendela dan meresapi hembusan angin khas pantai lalu mendengar sayup-sayup suara deburan ombak. "Jauh?" tanyaku.
"Nggak. Di balik tembok itu sudah pasir, setelah itu pantai."
Aku mengamati tembok yang Papi maksud dan melihat ada beberapa pohon yang tumbuh di baliknya. Sebenarnya tembok tersebut tak terlalu tinggi, tetapi karena kami sedang menggunakan mobil Mercy dan tubuhku terlalu kecil, aku tak bisa melihat apapun. Namun, aku tak berhenti berharap dan terus menatapi tembok yang kami lalui sepanjang jalan.
"Aku lihat!" seruku dengan penuh semangat saat melihat pemandangan singkat pantai melalui pintu masuk yang berada di antara tembok. "Apa sekarang kita mau ke sana?"
"Hari ini Mami sama Papi sibuk. Besok atau besok lusa saja, ya, Ensa."
Mendengar hal tersebut aku langsung beringsut dari tempat dudukku.
Kunjungan berikutnya, aku turun dari mobil dengan tergesa-gesa, melompat-lompat dengan tak sabar, berharap bisa melihat pemandangan pantai secepat mungkin. Dan ternyata hal tersebut sia-sia. Detik itu juga aku menganggap tembok tersebut menyebalkan karena menganggu pemandangan. Namun, setelah mendengar penjelasan panjang lebar Papi mengenai fungsi tembok yang penting, yang intinya ia nilai kurang lebih sebagai pelindung, aku memutuskan untuk berdamai dengan tembok tersebut. Sejak itu, lucunya, karena sifat kekanak-kanakanku yang sedang membara (mengingat aku memang masih anak-anak), setiap hendak meninggalkan pantai aku selalu menepuk tembok tersebut sekali lalu mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga semua orang. Konyol memang, tetapi karena itulah aku memiliki kenangan. Saat aku sudah lebih besar dan mengerti, aku pasti akan selalu tersenyum saat melihat tembok tersebut.
Bersama Sally, aku berjalan melewati beberapa jenis pohon, yang paling umum adalah pohon kelapa. Langkahku terhenti karena terpana melihat ada seseorang yang sedang duduk di atas salah satu pohon kelapa. Entah jenis kelapa apa—yang jelas pohon tersebut tidak terlalu tinggi, hanya sekitar tiga atau empat meter, tetapi sudah berbuah banyak. Aneh sekali jika ada orang yang bisa duduk di pohon yang seperti itu.
Seperti bisa menembus pikiranku, tiba-tiba orang tersebut menoleh padaku. "Oh, hi, there," sapanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum. "Berusaha melarikan diri dari orang tuamu lagi?" Ia menyeringai.
Oh, astaga... Tak bisakah aku tak berurusan dengan hantu sebentar saja?
»©»©»©»
Dalam rangka mencari teman yang sehati, aku ingin bertanya: Apa ada yang juga sering ngalamin kaya aku? Dan ada yang pernah ketemu hantu yang bisa berbahasa asing juga nggak? Wkwk Isi di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 26 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!