4. KETUKAN PERINGATAN

1.1K 26 4
                                    

Baca boleh GRATIS, tapi jangan lupa VOTE yah 🤪 Happy Reading!

"Nyatanya, tak semua 'gelap' akan menjadi kegelapan (jika kita mau melihat dari sisi yang lain)."

Denpasar, 12 Oktober 2002.

Tokk...Tokk... Tokk...

Saat hari sudah menjelang tengah malam, aku terbangun dari tidurku dan refleks menarik selimut hingga menutupi puncak kepala karena mendengar suara ketukan pada jendela kamar. Kejadian tersebut bukan pertama kalinya.

Pada beberapa malam sebelumnya aku pernah melihat sesosok pria yang tampak seperti bayangan hitam memperlihatkan diri di balik jendela. Walau penampakkannya hanya setengah badan, tetapi rambut keritingnya yang panjang, lingkaran matanya yang agak kuning dan bola matanya yang hitam terlihat cukup jelas.

Tokk... Tokk... Tokk...

Pria tersebut kembali mengetuk.

Dengan perlahan, aku menurunkan selimut hanya sebatas agar bisa melihat.

Pria tersebut menggerakkan bibirnya, mengumamkan sesuatu yang tak jelas. Volume suaranya sangat kecil, terdengar seperti bisikan, merupakan jenis suara yang hanya bisa didengar jika mendekat. Tentu saja aku tak melakukannya. Aku lebih senang melihatnya dari posisi yang "aman" sambil berusaha membaca gerakan bibirnya, meskipun itu saja sudah membuat aku ketakutan setengah mati.

"Maaf, aku tidak mengerti. Bisa berbicara lebih jelas?" pintaku ragu-ragu.

Duaaaarrrr!!!

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dasyat disusul dengan getaran hebat lalu suara Hugo yang menyalak-nyalak. Aku segera melompat turun dari tempat tidur, berlari ke luar kamar dan menemukan kedua orang tuaku sudah bersama dengan Hugo.

"Ada apa?" tanyaku panik.

"Ada gempa! Cepat lari keluar!" seru Papi, mengambil kunci rumah yang kebetulan terletak di atas meja yang ada di sebelahnya.

"Ayo, Ensa!" ajak Mami. Entah bagaimana, Freddie sudah bertengger di bahunya.

Kami pun mulai berlari.

Sejujurnya aku merasa sangat takut, tetapi entah bagaimana aku tetap bisa melangkahkan kaki tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dan berusaha untuk tetap fokus.

Sementara Papi sibuk membuka kunci rumah dan pagar, Mami memegang erat sebelah tanganku dan aku pun refleks memegang erat kalung Hugo-bersama-sama untuk tak terpisah.

Beruntungnya, kami berhasil keluar dengan selamat dan baru berhenti saat tiba di sebuah lahan kosong yang terletak tepat di seberang rumah. Di waktu yang nyaris bersamaan, kami membalikkan tubuh, mengikuti tatapan orang-orang yang sudah berkumpul yang sedang memandang ke arah satu titik.

"Ada kebakaran! Ada kebakaran!" teriak beberapa orang dengan tangan teracung.

Karena aku kesulitan melihat apa yang sedang terjadi, jadi aku memutuskan untuk berjinjit di atas sebuah batu pembatas selokan yang berada tepat di hadapanku. Hugo pun dengan sigap langsung melakukan hal yang sama.

Rasanya seperti mimpi buruk. Aku melihat kobaran api yang sangat besar, membumbung tinggi ke atas langit, mengubah warna malam yang gelap menjadi jingga. Tak hanya itu saja, asap hitam pun terlihat mengepul. Hal tersebut mirip seperti pemandangan kala gunung api sedang meletus. Namun, pertanyaannya: apakah itu benar-benar karena gunung? Aku sama sekali tak ingat pernah melihat gunung sedekat ini.

Pada kenyataannya tempat kejadian tersebut mungkin masih sekitar lima kilometer dari posisi kami berada. Namun, entah bagaimana, semua itu justru terlihat jelas, dekat dan sanggup membuat oksigen di sekitar kami terasa menipis. Dan ya, suasana malam hari ini terasa sangat mengerikan. Sekilas mirip seperti ada perang dan aku tak bisa membayangkan bagaimana mengerikan situasi perang yang sesungguhnya.

Orang-orang sibuk lalu lalang, berlari, bahkan saling bertabrakan. Beberapa di antaranya bahkan ada yang langsung pergi menaiki kendaraan, mengabaikan rumah dan hewan-hewan peliharaan mereka. Ekspresi wajah mereka tampak panik dan ketakutan, bahkan beberapa ibu dan anak tampak sedang menangis tersedu-sedu.

Lalu aku memandangi kedua orang tuaku. Mami yang berdiri tepat di belakangku tampak terpaku melihat kobaran api. Kedua tangannya membungkam mulut, matanya terbelalak tak percaya. Sementara itu, Papi yang berada agak jauh dari kami sedang berbicara serius dengan beberapa tetangga. Aku sempat merasa khawatir, tetapi tetap menahan diri untuk tak berteriak memanggilnya.

Duaaaarrr!!! Duaaaarrrr!!! Duaaaarrrr!!!

Bunyi beberapa ledakan kembali terdengar.

Semua orang sontak berteriak kemudian menunduk.

Jantungku terasa berpacu dengan begitu cepat, bulir-bulir keringat terasa turun membasahi pakaianku. Aku menangis ketakutan sambil memeluk Hugo yang gelisah bukan main. Lalu tatapanku jatuh ke arah rumah. Saat itu akhirnya aku menyadari bahwa sosok yang tinggal tepat di samping jendelaku tak seburuk yang kukira.

Dia, siapapun itu, berusaha berinteraksi dan memperingatiku sejak awal. Mulai dari bola api, bisikan-bisikan hingga ketukan-ketukan. Walau cara penyampaiannya memang tak biasa dan membuat aku ketakutan, tetapi setelah kupikir ulang, mungkin hanya itu saja yang terlintas dalam benaknya atau yang bisa ia lakukan. Sepertinya aku harus meminta maaf padanya karena sudah berburuk sangka.

"ADA LEDAKAN DI LEGIAN!" teriak seorang Bapak.

"Tabung gas meledak kali, ya, Pak?" sahut salah seorang Ibu.

"Bukan tabung gas, Bu! Sepertinya Legian-Kuta telah dibom!"

Jadi, inilah malapetaka yang dimaksud bola api tersebut.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 4 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang