20. PELUANG

535 24 4
                                    

"Manfaatkanlah peluang yang ada sebaik-baiknya sebab perubahan kecil sekalipun bisa membawa dampak yang besar."

Denpasar, 2003.

Aku bisa bernapas lega setelah keluar dari tempat tersebut. Tak ada satu pun dari mereka yang mencoba mengikutiku, termasuk si Kakek. Sebuah pagar yang menjadi pembatas dam ini sepertinya juga memiliki fungsi yang kurang lebih sama di dunia mereka. Ini semacam wilayah teritori—yang dari luar tidak bisa masuk, yang dari dalam tidak bisa keluar. Perbedaannya, bila di dunia manusia lebih fleksibel—hanya dibatasi oleh jam operasional atau semacamnya, di dunia mereka sepertinya jauh lebih rumit daripada hal itu.

"Kamu dapat hadiah dari dua pemancing yang tadi duduk di sana," kata Papi menyambutku.

Aku melihat ke arah yang Papi tunjuk, tetapi tak menemukan orang-orang yang Papi maksud. Ada tiga orang asing yang duduk menggantikan Om Umpan Lumut dan temannya.

"Hadiah? Hadiah apa, Pi?" tanyaku penasaran.

"Coba lihat saja keranjang ikanmu," jawab Papi memberi petunjuk.

Aku menarik tali keranjang ikan hingga tempat tersebut terangkat dari permukaan air. Setidaknya aku melihat ada delapan ikan sapu-sapu terkurung di dalamnya. "Banyak banget!" seruku dengan mata terbelalak tak percaya.

"Papi pikir kamu yang sengaja minta ke mereka."

Aku refleks menggeleng, kemudian menghela napas karena mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. "Tadi aku cuma minta satu ikan yang sengaja mereka buang, tapi aku sama sekali nggak minta lagi kok."

Papi tersenyum sambil mengangkat bahu. "Anggap saja rezeki."

"He-eh."

"Sudah sore. Ayo, kita pulang," ajak Papi kemudian.

Tak perlu waktu lama untuk berbenah. Kami kembali ke dalam mobil lalu mulai meninggalkan tempat tersebut. Hari semakin sore dan langit mulai memperlihatkan perubahan warna. Aku menikmati pemandangan sungai yang dihiasi dengan para tanaman enceng gondok untuk yang terakhir kali. Namun, sebelum benar-benar keluar dari area dam yang ditandai oleh sebuah jembatan penyeberangan yang cukup besar, aku meminta Papi untuk menghentikan laju mobil.

"Mau ngapain?" tanya Papi tak mengerti.

"Ikannya mau aku lepas," jawabku dengan sedikit bimbang.

Jarak antara tempat ini dan tempat yang tadi hanya sekitar dua kilometer. Aku takut para ikan yang akan kulepas bisa kembali tertangkap. Namun, mengingat bahwa sungai di seberang rumah kami juga pada akhirnya akan mengalir ke tempat ini membuatku semakin resah. Apakah ini akan memberi berpengaruh atau justru akan menjadi sia-sia? Aku bertanya-tanya.

"Tadinya mau Papi lepasin di sungai seberang rumah kita. Tapi tanpa kamu tahu karena takut kamu menangis. Ini, kan, terlalu banyak. Eh, ternyata kamu juga berpikir begitu."

"He-eh. Aku tahu kok kalau ini terlalu banyak," aku mengakui. "Menurut Papi lebih baik dilepas di sungai seberang rumah atau di sini?" Aku mengarahkan pandangan ke arah bawah jembatan.

"Lebih baik di sungai seberang rumah biar para ikan itu bisa punya peluang hidup yang lebih besar."

Ya, seharusnya aku menyadari hal itu sejak awal. Jika kita berusaha melakukan yang terbaik, maka sudah seharusnya kita memanfaatkan semua peluang yang ada. "Oke. Kalau begitu di sungai seberang rumah saja ya, Pi. Ayo, kita pulang."

"Turun," kata Papi tiba-tiba.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Turun sebentar. Ada yang mau Papi perlihatkan."

»©»©»©»

Kira-kira apa yang mau Papi perlihatkan ya? Temukan jawabannya pada VISIBLE selanjutnya. Eits!!! Hari ini VISIBLE update dua kali loh!

Did you enjoy chapter 20 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang