"Semakin jauh dari jangkauan manusia, semakin nyaman untuk dihuni."
Lumajang, 2003.
Rumah Ranny terletak tak begitu jauh dari bangunan TK, hanya berjarak sekitar 50 meter. Tak sulit untuk menemukannya karena rumah tersebut juga merupakan tipekal rumah yang menarik perhatian. Pasalnya, terdapat ayunan, kolam ikan dan beberapa patung karakter hewan yang terletak di bagian halaman. Selain itu, ada pula tanaman asoka yang tumbuh di sepanjang pagar.
Sewaktu kami masih sangat kecil, kami senang berjongkok sambil mengamati bunga-bunga dari tanaman tersebut. Uniknya, Ranny biasa menyebut tanaman tersebut sebagai tanaman kupu-kupu karena ia sering melihat ada kupu-kupu yang hinggap di sana.
"Ayo, coba, Sa," katanya sambil menyodorkan sekuntum bunga asoka. "Bunga ini loh yang selalu dicari sama kupu-kupu. Rasanya manis karena ada madunya. Kata ibu, minum madu itu bagus untuk kesehatan," jelas Ranny yang memiliki kebiasaan untuk mencabut putik bunga tersebut lalu menghisap bagian ujungnya. Sepertinya ia tak tahu bahwa tanaman asoka dianggap suci oleh umat Hindu.
"Kalau memang benar ada, itu terlalu sedikit. Untuk kupu-kupu saja," balasku enggan.
Ranny mengangkat bahu. "Aku rasa kupu-kupu nggak bakal keberatan kalau aku minta sedikit. Aku, kan, yang punya rumah."
Aku membalasnya dengan mengerutkan hidungku dan ia pun tertawa.
Masa kecil yang kami habiskan bersama cukup berwarna. Walau kami tak terlalu dekat karena hanya bertemu sekali dalam setahun, tetapi kami selalu akur dan memahami antara satu sama lain.
Saat tiba di depan rumah Ranny aku langsung memandangi tanaman asoka tersebut. Sepertinya tahun ini bunga-bunga asoka kembali mekar tepat waktu. Ranny yang sudah menungguku untuk kembali berjumpa menyambutku dengan riang. Ia memberi pelukan singkat, kemudian membantuku mengangkat tas bawaan. Ramah dan pandai bergaul merupakan salah satu karakter kuat yang dimilikinya. Secara otomatis, hal tersebut mengingatkanku kepada Mami. Sepertinya sifat-sifat genetik bisa menurun secara silang—dari nenek moyang ke bibi lalu ke keponakan.
"Hari ini kita bakal sekamar. Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya setelah kami melewati pintu samping.
"Nggak apa-apa kok."
"Oi," sapa Rangga yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Oi," sapaku balik.
Sementara itu, Ranny menggelengkan kepala sambil memperhatikan kami.
"Apa?" tanya Rangga dengan nada galak kepada adik bungsunya.
"Kamu itu mengajarkan adikmu yang gak baik. Sejak kapan ada sapaan semacam itu," eluh Ranny.
"Sudah, diam aja, nyemot. Aku, kan, nggak nyapa kamu," jawab Rangga cuek.
"Ibu, aku dikatain monyet sama mas!!!" seru Ranny tiba-tiba.
"Rangggaaaaaa!!!!" seru Ibu Ranny memperingati putra keduanya.
"Dasar nyemot tukang ngadu," eluh Rangga sambil mengatupkan gigi.
"IBUUUUUUUU, MAS RANGGA LOH!!!" seru Ranny lebih keras.
"RANGGGAAAAAA!!!" seru Ibunya tak kalah keras.
Mendengar hal tersebut, Rangga pun lari terburu-buru ke dalam kamar mandi lalu dengan cepat menutup pintu. Selang beberapa detik kemudian, kami langsung bisa mendengar bahwa ia sudah memulai "konser" solonya, yakni menyanyikan satu album penuh lagu-lagu Sheila On 7 favoritnya.
"Menyebalkan," gerutu Ranny sambil memandangi kamar mandi. "Jangan tiru apa yang dia bicarakan atau lakukan," nasihatnya sambil menggandeng tanganku kemudian menuntunku menuju ke kamarnya.
Dan ya, begitulah. Walau aku dan Ranny selalu akur, tetapi hubungan antara dia dan kakak keduanya benar-benar seperti anjing dan kucing. Jika tengah berada di antara keduanya, aku sudah seperti seekor tikus yang terjebak, tak tahu harus ke mana atau bereaksi seperti apa.
Kamar Ranny terlihat minimalis dan rapi, berbeda dengan kamar para kakak laki-lakinya yang berantakan dan lebih baik dihindari. Setelah memasuki kamar, kami langsung meletakkan tas karena bersemangat melakukan tur mini.
"Kamu ingat nggak sama ikan-ikan yang ada di sumur?" tanya Ranny saat mengajakku berkeliling rumah.
Aku mengangguk.
"Beberapa bulan lalu aku dan Ibu sudah melepas bibit. Kata Ibu, sekarang sudah bisa dipanen loh." Ranny mengeluarkan segembok kunci lalu membuka pintu rumah samping.
Sebenarnya aku ingin menolak untuk pergi ke bagian rumah samping, tetapi aku tak sampai hati karena melihat Ranny begitu bersemangat. Sepanjang yang aku tahu, rumah samping tersebut merupakan rumah yang ditinggalkan kemudian menjadi terbengkalai hingga akhirnya dibeli oleh keluarga Ranny sebagai bagian dari investasi. Letaknya "terhimpit" antara rumah depan yang masih dihuni oleh orang lain dan tanah kosong yang ada di sebelahnya. Bisa dikatakan bahwa tempat ini cukup "terasingkan" dan nyaman untuk... kalian tahu apa.
Saat pintu rumah samping terbuka, pandanganku langsung terarah pada sumur yang terletak beberapa meter di depan kami. Saat aku tahu bahwa Ranny akan bergerak mendekati sumur, aku langsung refleks menahannya.
"Ada yang ingin kamu lihat?" tanya salah satu penghuni rumah samping tersebut menyambut kedatangan kami.
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 25 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
KorkuBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!