"Aku belajar banyak darimu dan aku takkan pernah lupa. Kisahmu mungkin telah berakhir, tetapi aku justru baru akan memulainya. Aku meminta restu darimu—Nenek Angsa, mohon doakan aku. Semoga Tuhan mempermudah jalanku agar bisa mewujudkan keinginanmu yang tertunda."
Tulungagung, 2003.
Pagi harinya, kami pergi ke salah satu rumah keluarga Papi yang terletak di pinggir sebuah jalan raya utama yang cukup padat. Walaupun jalanan tersebut sudah beraspal dan tampak sudah terpengaruhi oleh era modern, tetapi di pandangan mataku, jalanan tersebut seakan-akan menolak untuk meninggalkan sisi kuno yang khas. Ya, kurang lebih mungkin kalian bisa menyebutnya sebagai energi masa lalu yang tertinggal. Seirama dengan "orang-orang dari masa lalu", tetapi kali ini aku akan mengajak kalian untuk bertemu dengan para penghuni di rumah "Tulungagung". Papi mengatakan padaku bahwa ia pernah tinggal di tempat tersebut sampai umur belasan tahun sebelum ia berangkat dan memilih menetap di Jerman.
Terakhir kali kami datang berkunjung, aku ingat bahwa Oma Swan, adik dari Opa—yang diam-diam lebih sering kusebut sebagai "Nenek Angsa", mengajakku pergi ke alun-alun dengan menaiki sebuah becak. Tentu saja aku merasa senang bukan main. Menaiki becak itu sangat asyik dan salah satu hal yang menjadi kekhasan di Pulau Jawa! Di Bali memang ada yang dinamakan dengan dokar alias delman (kereta beroda dua yang ditarik oleh kuda), tetapi tentu saja hal tersebut memiliki sensasi yang berbeda.
Jika menaiki dokar di Bali terasa terus berguncang dan mendengar "tuk tik tak, tik tuk"—suara sepatu kuda, menaiki becak terasa seperti menaiki sepeda versi "kursi" dengan suara latar belakang "Pak Becak" yang terkadang menyanyikan tembang Jawa atau setidaknya mengajak berbincang para penumpangnya dengan bahasa Jawa atau aksen Jawa yang khas. Hal tersebut menjadi sebuah hiburan tersendiri bagiku. Jadi, biasanya, bila kami berkunjung ke pulau Jawa, sebisa mungkin aku akan merayu Mami agar kami bisa pergi menaiki becak ke suatu tempat.
*Lagu.
Saat pergi ke alun-alun, Oma Swan membelikan aku sebuah balon dan mengatakan kepada orang-orang yang ditemuinya bahwa aku adalah cucunya. Rasanya senang, seperti kembali memiliki nenek yang tak pernah "kutemui" dikarenakan omaku dari pihak Papi meninggal saat aku baru berusia satu tahun. Karena sudah tinggal di sana seumur hidupnya, hampir semua orang yang berpapasan dengan kami mengenali Oma Swan dengan baik.
Sejak menjejakkan kaki di pulau Jawa, nyaris sembilan puluh lima persen percakapan yang kudengar berbahasa Jawa. Saat mendengarkan orang-orang berbicara dengan aksen yang khas dan sangat kental, diam-diam aku sering meniru perkataan mereka lalu tertawa saat mendengar suaraku yang justru terdengar aneh karena tak terbiasa. Pengucapanku terdengar dalam kalimat bahasa Jawa, tetapi aksen Baliku tak mau hilang. Bukan berarti aku memiliki aksen Bali yang sangat kental. Tidak. Aksen Baliku hanya terdengar samar-samar, tetapi tetap menjadi bagian dari diriku.
Kalian tahu, contoh lainnya seperti... jika orang Jawa biasanya agak menundukkan kepala saat menyapa seorang tamu, orang Bali lebih aktif dengan menggerakkan tangan mereka. Kebiasaan-kebiasaan yang biasa kita lakukan dan pelajari di daerah tanpa kita sadari rupanya menjadi salah satu tanda dari identitas milik kita. Orang-orang yang menyadarinya biasanya akan berkata, "Ah, kau bukan orang sini ya?"—Hal-hal semacam itu.
Menurutku, Nenek Angsa merupakan tipekal sosok yang mudah untuk dikenali dan disenangi oleh banyak orang. Terkadang aku berpikir bahwa Nenek Angsa memiliki bakat sebagai perawat atau semacam relawan. Pasalnya, ia adalah anggota keluarga yang paling memiliki jiwa sosial yang tinggi dan rela berkorban yang patut diacungi jempol. Seumur hidupnya, ia abdikan untuk menolong dan merawat orang yang sakit atau sebatang kara. Di zaman yang sudah mulai berubah seperti ini, jarang sekali kita dapat langsung menemui tipekal orang yang seperti dirinya. Biasanya, kita hanya bisa mendengar melalui cerita atau berita saja.
Nenek Angsa selalu mengorbankan diri dan kenyamanan hidupnya demi kepentingan orang banyak. Padahal jika ia mau, ia bisa bersenang-senang dan menikmati hidupnya di usia senja. Namun, begitulah Nenek Angsa yang keras kepala. Ia akan berpegang teguh pada prinsipnya dan menjunjungnya setinggi langit. Tak ada yang bisa menggoyahkannya.
"Aku ikhlas lahir dan batin. Aku melakukannya karena aku masih bisa. Hidup sudah susah, jangan dibuat semakin susah apalagi kalau sampai merampas hak milik orang lain. Jika bisa membantu, maka kita harus membantu. Jangan pura-pura tidak tahu seperti orang yang buta, tuli dan bisu!" katanya suatu hari.
Aku tahu walau perkataannya terdengar kasar dan negatif, tetapi maksudnya tidak begitu. Kata-katanya keras guna "menampar" orang-orang tertentu—jika kalian tahu maksudku.
Dan ya, begitulah kehidupan. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa jika di dunia ini ada manusia yang berhati baik, tentu saja ada pula manusia yang berhati jahat. Dan manusia yang berhati jahat inilah yang menurutku lebih pantas disebut sebagai setan daripada setan yang sesungguhnya. Setan mungkin memang bisa menganggu, tetapi manusia yang berhati jahat lebih daripada itu.
Did you enjoy chapter 44 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikancerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕 Cuma butuh beberapa DETIK kok.
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
![](https://img.wattpad.com/cover/130080665-288-k491379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!