21. DAYA TARIK

548 25 8
                                    

"Sesungguhnya dimensi kita dan mereka hanya setipis kabut."

Denpasar, 2003.

Kami turun melewati rerumputan, tempat para tanaman liar bisa tumbuh dengan subur. Karena tempat yang satu ini jauh lebih landai, aku dan Papi harus ekstra berhati-hati dalam mengambil langkah. Sepertinya tak ada orang yang berminat memancing di tempat ini walau posisinya dekat dengan para penjual umpan, cukup nyaman dan nyaris tak ada sampah. Mungkin bisingnya suara kendaraan yang datang dari arah jalan raya menjadi salah satu faktor utamanya.

"Nanti kalau kita mau lepasin ikan-ikan itu sisain dua ya, Pi. Yang ada garisnya sama yang paling besar," pintaku sambil berusaha menghindari sebuah semak belukar yang memiliki duri dan buah berwarna hitam.

"Buat apa?"

"Buat aku pelihara di kolam."

"Satu saja cukuplah," saran Papi.

"Yang ada garis putihnya itu yang tadi dilempar sama Om Um... tadi... ke jalan," kataku cepat-cepat mengoreksi. "Dia lagi sakit. Jadi, mau aku kasih teman biar dia semangat dan cepat sembuh."

"Di rumah, kan, sudah ada banyak ikan."

"Jenisnya beda."

"Bukannya sudah ada Jerry?"

"Jerry, kan, sudah lama di kolam—artinya dia itu ikan kolam. Kalau yang ini, kan, sama-sama ikan sungai. Lagipula biar yang paling besar bisa jagain yang garis putih. Siapa tahu ikan yang di kolam juga punya 'geng-gengan'," jelasku.

"Di sekolahmu ada 'geng-gengan' juga nggak?" tanya Papi sedikit melenceng keluar dari pembicaraan.

Aku mengangguk.

"Apa kamu juga punya geng?"

Kali ini aku menggeleng. "Aku nggak punya geng, tapi aku punya banyak teman."

Kini giliran Papi yang mengangguk-angguk. "Ikannya mau kamu beri nama siapa?"

"Yang garis putih mau aku beri nama Tom. Yang besar mau aku beri nama Spike. Jadi, yang di rumah nanti lengkap."

"Astaga. Kadang Papi lupa kalau kamu masih 'Oek-oek'," eluh Papi, tetapi ia tersenyum kepadaku.

Saat kami sudah tiba di tepi sungai, aku melihat pantulan bayangan wajahku berubah menjadi bayangan wajah orang lain. Wajah tersebut adalah wajah seorang wanita dengan rambut pendek bergelombang sebatas bahu. Ia menatap ke arahku dengan ekspresi penasaran sama seperti ekspresiku saat menatapnya.

Aku memundurkan tubuh, sementara mataku langsung tertarik untuk melihat ke arah bawah jembatan yang ada di sisi kiri kami. Di mata manusia normal mungkin tempat ini terlihat kosong dan terbengkalai. Namun, pada kenyataannya ada kehidupan lain. Ada banyak sekali aktifitas di sana. Kondisinya mirip seperti halte bus di depan sebuah pemukiman warga. Di sisi kanan-kiri bawah jembatan ada orang-orang yang berdiri seperti menanti sesuatu dan mayoritas dari mereka adalah kaum perempuan. Sampai sini apa kalian sudah mengerti maksud perkataanku? Ya, bisa dibilang tempat ini merupakan salah satu "sarang" dari kuntilanak.

Satu hal lagi yang belum pernah kuungkapkan kepada kalian mengenai makhluk-makhluk seperti mereka. Mereka memiliki semacam daya. Ada yang memiliki daya tarik. Ada pula yang memiliki daya tolak. Ada yang membuat kita merasa ingin mendekati. Ada pula yang membuat kita merasa ingin melarikan diri. Dan yang satu ini memiliki daya tarik bagiku. Di sisi lain, mereka terasa mudah dijangkau sekaligus sulit dijangkau—seperti ada semacam batas yang menghalangi.

"Pak, lagi ngapain?" tanya seorang pemancing yang sedang berboncengan motor dengan temannya, menyapa Papi.

"Ini anak saya lagi lihat-lihat," jawab Papi sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Lihat apa? Ikan? Banyak ikannya?" tanya pemancing tersebut, hendak turun.

"Lihat kolong jembatan, Om," ralatku cepat. Walau dalam posisi berdiri membelakangi para kuntilanak, aku bisa merasakan bahwa mereka sedang memberi tatapan tajam kepada kedua pemancing tersebut.

Ada sedikit jeda sebelum akhirnya pemancing tersebut kembali bertanya, "Di mana, ya, yang banyak ikannya?"

"Coba yang arah dekat pagar. Tadi banyak yang dapat," jawab Papi kemudian.

"Oke, duluan, ya, Pak, Dek," sahutnya, kemudian meninggalkan kami.

Aku dan Papi saling bertukar pandang dan menghela napas lega.

"Untung kita tadi nggak ngelepasin ikan di sini," kata Papi.

Aku mengangguk, menyetujuinya. Namun, dalam hati aku juga berkata, untung mereka nggak memancing di tempat ini.

Tiba-tiba Papi menunjuk ke sisi lain sungai, mengalihkan perhatianku. "Kamu lihat bangunan emas yang ada di seberang sana?"

Aku memperhatikan bangunan yang dimaksud—bangunan yang sebenarnya sudah menarik perhatianku sejak lama. "Ya."

"Minggu depan kita ajak Mami ke sana ya."

Sebelum aku berhasil menjawab, tiba-tiba aku mendengar seorang perempuan berkata, "Datanglah."

Apakah ini merupakan undangan lain? Aku kembali bertanya-tanya dalam hati.

»©»©»©»

Did you enjoy chapter 21 of VISIBLE 2?

Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang () di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕

*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.

Thank you so much for your support and attention!

Love, Ensatrixie (IG), xoxo.

- Bersambung -

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang