"Terkadang keingintahuan membuatmu terseret lebih dalam."
Kuta, 1999.
"Artis," bisikku kepada Mami setelah menarik ujung bajunya.
Mami mengangguk lalu tersenyum. "Iya."
"Apa?" tanya Papi yang baru bergabung.
"Tante itu artis." Aku mengarahkan pandanganku kepada wanita yang baru saja memasuki toko.
Seperti biasanya Papi selalu saja senang menggodaku. "Tante, Tante. Kata anak saya." Papi menunjuk diriku yang langsung bersembunyi di balik meja. "Tante itu artis, ya?"
Semua orang yang memahaminya tertawa.
"Kok kamu tahu sih?" tanya tante tersebut.
Dengan perlahan, aku pun bangkit berdiri, menyempatkan diri untuk memberi tatapan tajam kepada Papi yang sedang tersenyum melihatku lalu aku kembali memandang si Tante. "Tahu dong. Aku sering lihat iklannya di TV. Tante yang suka jadi, 'hihihihi'," jawabku sambil mengeluarkan bunyi tawa yang melengking. "Hantu si Manis—"
Tiba-tiba Mami meremas tanganku. "Iya, iya. Nggak usah diperagain," katanya. Ia mendelik dan tersenyum secara bersamaan.
"Memangnya kamu sering nonton filmya Tante?" tanya si Tante.
"Cuma lihat iklannya. Nggak boleh nonton sama Mami. Aku masih terlalu kecil. Mami terlalu takut. Papi nggak percaya sama hantu," jelasku.
Tante tersebut terkekeh, sementara Mami memberiku senyuman yang kini tampak semakin aneh.
"Tante setuju. Memang benar kamu masih terlalu kecil. Kalau nonton film hantu terus nggak bisa tidur, gimana?"
"Bisa kok. Aku nggak takut."
"Kok nggak takut?"
Sebenarnya suara tawa Tante memang mirip, batinku yang tak berani kuutarakan. Tapi... "Tante terlalu cantik buat jadi hantu," jawabku jujur. Sesungguhnya aku lebih takut dengan pemeran yang botak, yang kepalanya bisa putus tiba-tiba lalu terbang begitu saja. Sekilas ia mengingatkanku kepada wanita "Bertaring".
Tante tersebut pun tertawa tanpa mengetahui apa yang sedang kupikirkan. "Ah, bisa saja," katanya kemudian.
Aku melihat kedua orang tuaku memandangiku sambil tersenyum. "Kenapa?" tanyaku tanpa suara.
Kedua orang tuaku pun hanya menggeleng.
"Oh, iya, apa hari ini ada pertunjukan tari?" tanya si Tante kepada orang tuaku.
"Oh, setahu saya adanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Hari ini hanya ada pertunjukan baleganjur," jawab Papi.
Lalu orang-orang dewasa itu pun mengobrol, sementara aku hanyut dalam pikiranku.
»©»©»©»
Malam ini bulan bersinar lebih terang sehingga apabila ada awan yang sedang melaluinya, kita bisa menyadarinya dengan sangat mudah. Di film-film itu mungkin akan dianggap sebagai hal mistis atau menakutkan, apalagi jika ditambah dengan suara lolongan anjing atau serigala. LOL! Namun, menurutku ini merupakan sebuah malam yang indah.
Aku dan orang tuaku kembali bertemu dengan si Tante "Artis" saat kami sedang berjalan menuju ke tempat pertunjukan yang letaknya kebetulan bersebelahan dengan taman. Kami saling bertegur sapa sejenak lalu aku meminta orang tuaku untuk melambatkan jalan agar aku bisa memanggil Barong tanpa diketahui oleh mereka.
Aku tak sabar ingin bertemu dengan Barong dan menceritakan peristiwa yang terjadi hari ini sekaligus menanyakan beberapa hal. Beruntungnya aku selalu membawa sebuah TV mini yang dibeli oleh Papi saat berada di Jerman. TV tersebut bentuknya mirip seperti radio, memiliki sebuah antena yang bisa diatur. Dengan TV tersebut, aku berencana ingin menunjukkan film si Tante "Artis" kepada Barong. Aku tahu bahwa bentuk makhluk sebangsa mereka bisa berbeda-beda, tetapi aku penasaran apakah Barong pernah melihat hantu yang mirip dengan yang diperankan oleh si Tante "Artis"? Jika iya, aku ingin tahu apakah di dunia "sana" juga ada toko pakaian atau salon kecantikan yang bisa membuat rupa hantu tampak lebih cantik atau lebih modis.
Sayangnya, ruang perlengkapan tari terlihat gelap dan Barong juga tak "tampak" sedang berada di sana. Aku mendesah kecewa lalu melompati batu-batu jalan setapak yang ada di tengah rerumputan. Langkahku terhenti saat menyadari ada seorang perempuan yang mengenakan pakaian dan perlengkapan tari Bali sedang menari di area taman yang sepi dan remang. Itu adalah sebuah pemandangan aneh mengingat malam ini tak ada pertunjukan tari. Tiba-tiba si penari berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Oh, hantu, batinku. Aku kembali melangkahkan kaki, seakan-akan mengabaikan keberadaannya. Namun, diam-diam, dalam hati aku bertanya-tanya, "Siapa yang telah mendandani dirinya?"
»©»©»©»
Waktu aku kecil, aku selalu penasaran dengan penampilan hantu. Kenapa ada yang rambutnya berantakan? Kenapa ada yang rambutnya rapi—bagus kaya habis keluar dari salon? Kenapa ada yang dandan? Kenapa ada yang nggak dandan? Dsb. Kalau kalian bagaimana? Apa sih yang pernah terpikirkan oleh kalian pada saat melihat penampilan hantu yang berbeda-beda? Atau sebodo amat, gak penting. Hahaha... Tulis di kolom komentar ya. I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 22 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!