47. SEKEJAP

1.2K 29 9
                                    

"Hanya karena tak pernah tahu, beberapa orang cenderung menolak untuk mencoba memahami."

Kuta, 2001.

Perempuan "Kersen" tersebut mengamati cabang-cabang pohon, tampak berusaha mengalihkan perhatiannya. Namun, setelah beberapa lama tiba-tiba ia berhenti lalu berpaling ke arahku. "Aku nggak apa-apa. Aku punya banyak waktu untuk memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Aku mungkin akan pergi atau... menunggu." Entah mengapa sinar matanya yang sempat meredup kembali terlihat terang. "Aku rasa mungkin dia akan kembali ke Bali. You know, ini Bali. Semua orang suka Bali. Masih ada kemungkinan kami bisa bertemu lagi. Menjadi penunggu pohon kersen untuk sementara waktu juga nggak begitu buruk kok. Lagipula, tempat ini adalah salah satu rumah makan favorit kami. Kami tinggal nggak jauh dari sini. Jika suamiku pulang, dia pasti akan selalu melalui jalan ini. Karena itu aku memang sengaja memilih tempat ini. Tapi aku tetap ingin tahu pendapatmu. Walau kecil kemungkinannya, apa aku boleh tetap menunggu suamiku pulang?" tanya Perempuan "Kersen" dengan penuh harap.

Terkadang aku tak tahu mana yang lebih baik, membiarkan seseorang dengan harapan yang tak menentu atau memberikan pendapat logis yang berisiko memupuskan tujuan "hidup"-nya. Bila memang benar kita pernah disakiti oleh seseorang, akankah kita kembali ke tempat yang sama setelah memutuskan pergi jauh selama bertahun-tahun? Namun, setelah mencoba mengambil sudut pandang lain, mengingat setiap hal ajaib bisa saja terjadi, aku rasa harapan itu akan selalu ada. Mungkin saja suaminya akan datang kembali untuk mengenang istrinya yang sudah tiada. Mungkin saja ia selama ini tak datang karena hatinya masih belum kuat. Ada begitu banyak kemungkinan. Dan aku rasa aku tahu pilihan mana yang akan kuambil.

"Ya, tentu saja. Kakak bebas memilih," jawabku kemudian. Tak bijak rasanya bila kita menghentikan harapan seseorang. Kita, kan bukan Tuhan yang Maha Mengetahui.

"Benar, kan. Lagipula, aku juga nggak tahu harus ke mana. Di rumah kami ternyata sudah banyak sekali yang menghuni." Perempuan "Kersen" tersebut kembali melayang lalu menunjuk ke arah salah satu sisi cabang pohon. "Yang itu pasti manis."

Aku mengambil buah kersen yang berwarna merah dan gemuk tersebut. "Dari mana Kakak tahu ini manis? Memangnya Kakak pernah makan?" tanyaku penasaran.

"Iya. Aku sudah cukup lama tinggal di sini. Mungkin sekitar empat atau lima tahun. Dan aku tidak menghabiskan waktu untuk mengurus anak."

Kami berdua saling tatap, terdiam sejenak lalu tersenyum bersamaan. Berbeda usia ternyata juga berbeda topik pembicaraan. Kurang lebih aku hanya menangkap bahwa intinya ia ingin dianggap berbeda dengan wanita di keluarga hantu tersebut.

"Sudah selesai belum?" tanya Papi yang masih berdiri di bawah pohon, benar-benar terlupakan.

Aku terkekeh lalu memperlihatkan buah-buah kersen yang sudah kukumpulkan kepadanya.

"Wow, besar-besar sekali!" seru Papi.

"Ayo, ambil yang lain. Aku akan tunjukkan," kata Perempuan "Kersen" tersebut dengan penuh semangat, kemudian terbang ke sana kemari.

"Aku mau ambil sedikit lagi," aku memberitahu Papi yang dengan pasrah hanya bisa mengangguk.

Dan benar saja, Perempuan "Kersen" menunjukkan banyak letak buah yang berwarna merah kepadaku. Setelah kuberikan kepada Mami, Mami mengatakan bahwa kersen-kersen tersebut terasa sangat manis.

"Terima kasih," kataku saat hendak pulang, melambaikan tangan kepada Perempuan "Kersen" sebelum masuk ke dalam mobil.

Perempuan "Kersen" tersebut tersenyum dan membalas lambaian tanganku. "Sama-sama. Kalau datang lagi, jangan lupa bawa keranjang kecil! Kamu harus ambil yang banyak daripada hari ini."

Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang