"Bumi adalah rumah untuk semua makhluk, bahkan yang berusia ratusan tahun lamanya."
Denpasar, 2003.
Asap-asap berwarna hitam yang membentuk sosok seperti manusia bermunculan dari bagian terdalam pepohonan bakau. Beruntungnya aku memiliki sedikit pengalaman mengenai asap-asap seperti itu sehingga saat pertama kali melihatnya aku tak mengira bahwa pohon-pohon tersebut sedang terbakar.
Ada sesuatu yang tak biasa pada para penghuni di rawa ini. Bukan hanya sekadar terlihat tua secara fisik, tetapi mereka memiliki aura kental yang begitu kuno. Berhadapan dengan mereka menimbulkan perasaan yang mirip seperti saat kita berhadapan dengan peninggalan sejarah atau semacamnya. Dan sepertinya wujud yang sedang mereka tampilkan sekarang bukanlah wujud mereka yang sesungguhnya. Kalian tahu, jenis makhluk yang bisa berubah-ubah? Kurang lebih seperti itu.
Tak ada jalan untuk melarikan diri atau berpura-pura tak menghiraukan. Aku sudah tertangkap basah dan kami juga sudah saling bertatapan secara terbuka. Bagaimana pun juga aku hanyalah salah seorang tamu di tempat ini. Dan sebagaimana tamu yang baik sudah selayaknya jika aku menyapa sang tuan rumah. Aku pun menunduk sekilas untuk memberi salam kepada mereka.
"Kalian kaum perusak," kata salah satu sosok hitam yang berdiri di antara cabang pohon bakau.
Kuperhatikan sosok tersebut secara saksama sambil mencoba mencari tahu maksudnya. Tubuh sosok tersebut terlihat kurus dan suaranya terdengar serak seperti ciri-ciri seorang kakek. Dalam cerita daerah, mungkin sosok yang seperti inilah yang sering disebut-sebut sebagai tetua di antara suatu kelompok.
"Dulu tempat ini sangat tenang dan bersih. Lalu kalian datang, menjajah, membawa keburukan, mengubah begitu banyak hal yang seharusnya. Tidak hanya kami saja, tetapi para hewan dan tumbuhan di sini juga merasa sangat terganggu," tambahnya kemudian, benar-benar terlihat seperti kakek-kakek yang sedang marah. "Manusia memang kaum perusak." Ia kembali menegaskan.
Kalian tahu, rasanya sangat tidak nyaman jika berada dalam posisiku. Ia mengatakan hal tersebut seakan-akan aku turut bertanggung jawab dengan apa yang sudah terjadi di tempat ini. Namun, di sisi lain, aku pun juga tak bisa menyalahkannya. Walau ini memang di luar kemampuanku, tetapi... setelah dipikir-pikir, ini seperti semacam salah satu kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Ia menganggap bahwa perananku sebagai penerus generasi adalah titik berat—jalan keluar dari persoalan yang tengah terjadi.
Diam-diam aku jadi membayangkan bagaimana kondisi rawa ini sebelum dijamah manusia. Kondisinya pasti jauh lebih tenang, damai, bersih dan... Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah vision.
Pada zaman dahulu kala rawa ini terlihat mirip seperti dugaanku, tetapi dalam versi yang lebih menawan. Perbedaan yang paling mencolok ada pada jumlah tanaman dan hewan. Mereka tampak lebih beraneka ragam sebelum akhirnya mengalami kepunahan. Dalam vision-ku, aku melihat ada seekor burung yang sangat besar yang sedang terbang melintasi bagian pucuk pepohonan dengan latar belakang langit biru yang jernih. Burung tersebut tampak unik, seperti perpaduan antara burung bangau dan burung bangkai. Secara keseluruhan rawa ini benar-benar tampak begitu alami dan mengagumkan—jauh dari jangkauan manusia.
Setelah vision tersebut memudar, aku pun berkata, "Maaf," satu-satunya kata yang sanggup kuucapkan dari begitu banyak pilihan.
"Maaf saja tidak cukup," balas Kakek tersebut dingin.
"Sudahlah, jangan terlalu keras padanya," saran sosok hitam lain yang berusaha menenangkan. Uniknya, sosok yang satu ini tampak seperti seorang nenek.
Apa mereka merupakan pasangan? Aku jadi bertanya-tanya.
"Tapi dia manusia dan manusia itu kaum perusak," bantah si Kakek, tampak merajuk.
Aku pernah mendengar bahwa cinta itu bisa membutakan. Namun, ternyata begitu pula dengan benci. Saat seseorang sudah memutuskan untuk membenci sepertinya ia takkan melihat kebaikan barang secuil pun.
"Tidak semua manusia itu sama," kataku berusaha memberi tanggapan dan aku rasa itu merupakan suatu kesalahan. Terjadi keheningan yang mencekam, sementara kami saling bertukar pandang. Kuputuskan untuk segera menyudahi perbincangan kami tanpa menanti balasan. "Aku pergi dulu ya, Kek. Kapan-kapan kalau aku main lagi ke sini, semoga Kakek sudah nggak marah-marah lagi. Nanti Kakek jadi semakin tua loh!" Aku menundukkan kepala untuk melengkapi salam perpisahan.
"Cih!!!" eluh si Kakek sambil melotot padaku, sementara si Nenek justru tersenyum.
Saat aku membalikkan tubuh, aku baru menyadari bahwa hanya tinggal aku saja satu-satunya manusia yang berada di sisi dalam gerbang dam. Aku segera mengambil langkah cepat sebelum Kakek tersebut kembali memarahiku. Ps: Sudah pasti ia akan memarahiku!
»©»©»©»
Did you enjoy chapter 19 of VISIBLE 2?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!