Jangan lupa VOTE ya! Karena apa? Berbuat baik itu baik. Menyenangkan hati Ensa itu nggak bakal rugi karena selain kalian dapat pahala, kalian juga jadi dapet update VISIBLE. *Hehehe... Happy Reading, guys!
"Alam bawah sadar kita terkadang memiliki cara yang unik untuk mengaktifkan 'alarm' tanda bahaya."
Kuta, 2001.
"Kamu ini mimpi apa sih sampai gitu banget?" tanya Mami.
Aku hanya membalasnya dengan menggelengkan kepala.
"Ayo, cepat bangun. Temenin Mami pergi beli makanan di depan," kata Mami sambil beranjak ke ruang tamu.
Aku pun bangkit berdiri, mengekor di belakangnya seperti anjing kecil. "Apa? Beli makanan di depan?" tanyaku tak percaya. Sebagian jiwaku masih belum terasa "penuh", sementara sebagian otakku masih berada dalam suhu nol derajat Celcius. Apa ini masih mimpi?
"Iya. Ayo, cepat. Kita sudah ditunggu Papi di galeri."
"Gimana kalau beli di tempat lain saja?" saranku.
"Aduh, kamu ini. Mami, kan,carinya yang deket biar cepat."
"Tapi—"
"Cepat mandi sana," sela Mami, mendelik padaku.
Mau tak mau akhirnya aku pun mandi lalu pergi menemani Mami dengan perasaan yang campur aduk.
"Hai. Kalian sudah mau pergi, ya?" tanya Om Asher yang baru saja keluar dari bungalownya, berjalan menuju ke arah kami. Nino yang berjalan di sampingnya, menggoyang-goyangkan ekornya dengan riang.
"Iya, kita mau beli makanan di depan, habis itu balik ke galeri," jawab Mami, membelai puncak kepala Nino.
"Yaaahhh, padahal aku mau titip Nino loh. Soalnya aku harus buru-buru pergi. Ada kepentingan mendadak."
"Nggak apa-apa, Nino sama kita aja. Nanti kamu bisa jemput dia di galeri."
Eh? Aku langsung menatap Mami tak percaya.
"Apa?" tanya Mami kebingungan.
"Nggak apa-apa," jawabku cepat.
"Oke deh kalau gitu. Makasih banyak, ya. Aku pergi dulu. Bye!" seru Om Asher.
"Bye," sahut aku dan Mami secara bersamaan, sementara Om Asher mulai berjalan menjauh.
"Kenapa mendelik? Kamu nggak senang ada Nino? Tumben banget," tuduh Mami.
"Kata siapa? Aku senang kok. Senang banget malah," tampikku. Aku melirik Nino. Bukan kamu yang aku nggak senang, tapi yang lain, batinku dalam hati.
Seperti yang terjadi dalam mimpi, kami bertiga berjalan melewati pohon-pohon jati hingga akhirnya tiba di jalan "Labirin". Kami bertemu salah satu penjaga bungalow yang sedang berjongkok, sibuk memangkas tanaman, membuat mimpi dan kenyataan menjadi berbeda.
Nggak kaya mimpi kok. Tenang, ini nggak sama, batinku, berusaha untuk tetap menenangkan diri.
Penjaga bungalow yang satu ini terlihat lebih muda daripada penjaga bungalow bagian belakang yang sempat pernah menahanku. Kutebak, umurnya sekitar dua puluh lima sampai dua puluh delapan tahun. Walau tubuhnya kecil dan kurus, tetapi ia agak berotot. Wajahnya ramah, seperti orang yang memiliki bakat berbincang dari lahir. Dan sepengetahuanku, ia baru bekerja selama beberapa minggu di tempat ini.
"Wah, mau ke mana ini? Jalan-jalan sore, ya?" tanya penjaga bungalow tersebut.
"Nggak kok, cuma mau beli makan di warung depan," jawab Mami.
"Oh, iya. Di warung depan yang paling enak sayur asemnya."
Kressseeekkk... Kressseeekkk...
Berjarak sekitar satu meter dari tempat si penjaga bungalow ada beberapa dedaunan yang mulai bergerak-gerak, sama persis seperti yang terjadi dalam mimpiku.
Nggak mungkin, nggak mungkin. Aku menepuk-nepuk kedua pipiku, berusaha menjauhkan mimpi buruk, khayalan atau apapun namanya. Namun, rupanya kakiku sudah bergerak menjauh, semacam perlindungan diri otomatis.
Tiba-tiba Nino menyalak-nyalak lalu menggeram ke arah dedaunan tersebut.
Ini nyata!!!
Tak mau mengambil resiko, tetapi juga tak mau mati penasaran, aku pun berseru kepada Mami, "Mi, lihat! Daunnya gerak-gerak!"
"Mana?" Kedua tangannya berpindah ke atas bahuku, meremasnya tanpa sadar.
"Itu!" seruku sambil menunjuk.
Si penjaga bungalow bangkit berdiri, mendekati dedaunan yang sedang bergerak tersebut. Dengan hati-hati, ia mengarahkan pisau yang sedari tadi digunakan memangkas untuk membelah dedaunan. Jantungku berdegup kencang, aku bertanya-tanya dalam hati: Apakah mereka juga akan melihat-"nya"?
"Ah, kadal," kata si penjaga bungalow, berbalik menghadap kami.
Dan benar. Itu hanya ulah seekor kadal. Ujung ekor kadal tersebut bergoyang-goyang sebelum akhirnya menghilang.
"Oh, kadal," balas Mami, menghela napas lega.
"Iya, di sekitar sini masih banyak, Bu. Kadang-kadang saya malah nemu ular. Hati-hati kalau jalan di sini, jangan dekat-dekat pohon, agak tengah aja. Bla... bla... bla..."
Sementara Mami sedang mendengarkan perkataan si penjaga bungalow, aku melihat sebuah tangan berwarna hitam yang tiba-tiba muncul bergerak menyapu dedaunan. Saat aku mencoba untuk lebih fokus, aku mendapat sebuah hantaman di kepala yang membuat semuanya menjadi... gelap.
»©»©»©»
Ada yang pernah mengalami déjà vu? Merasakan sensasi pernah mengalami hal yang sama (tempat/waktu/kejadian) atau semacamnya? Isi di kolom komentar ya! I'd love to read it, but remember to keep comments respectful©
Did you enjoy chapter 43 of VISIBLE 1?
Beri dukungan terhadap penulis dengan cara follow Wattpad: Ensatrixie, klik tanda bintang (☆) di bawah, bantu mempromosikan cerita ini di medsos atau kepada teman-teman kalian 💕
*Cerita ini merupakan karya original yang memiliki HAK CIPTA dan dilindungi oleh Undang-Undang. Di larang keras untuk mengkopi atau menerbitkan tanpa seizin penulis.
Thank you so much for your support and attention!
Love, Ensatrixie (IG), xoxo.
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Books #1-3: The VISIBLE Series (Wattpad Books Edition)
HorrorBerdasarkan KISAH NYATA. - VISIBLE 1 (1997-2002): Horror - Mystery ✔ - VISIBLE 2 (2002-2005): Horror - Mystery ➡ Ongoing - VISIBLE 3 (2006-2007): Horror - Mystery ➡ Coming up in December 2021. Ps: New Versions!